TENTANG IMAN, BAHAYA KEMUNAFIKAN, DAN KEMUSYRIKAN
Hingga saat ini kita telah membahas sekilas tentang yakin, proses terjadinya keyakinan, tingkatan keyakinan, hingga kepada prosesi tingkat keyakinan tertinggi yang pernah dicapai seorang ras manusia yang pernah hidup di bumi ini. Juga dibahas sedikit tentang keimanan, yang sesungguhnya memiliki dimensi tersendiri dibandingkan dimensi keyakinan.
Sebagaimana diketahui, iman bersifat lebih kepada segi spiritual-transendental dan berada dalam dimensi kemutlakan. Jika keyakinan berada dalam tataran rasionalitas-empiristis, maka keimanan berada dalam tataran yang lebih tinggi. Jadi, keimanan bersifat absolut dan tak bisa ditambah atau dikurangi pengertiannya. Walaupun.., secara kualitatif iman seseorang kadang meningkat secara bertahap, terus meninggi tak berhenti, kadang menurun, turun drastis, atau bahkan hilang tak berbekas sama sekali.
Dikatakan dalam kitab Fadhail Amal yang banyak memuat hadits shahih didalamnya bahwa, jika iman diumpamakan sebagai sebuah pohon, maka iman memiliki 70 lebih cabang-cabangnya. Tonggak yang paling utama adalah Kalimat 'Laa ilaaha illa Allah' dan salah-satu cabangnya yang paling rendah adalah 'menyingkirkan sesuatu yang membahayakan agar tidak mengenai seseorang yang tengah berjalan', sementara sifat malu dan sabar merupakan cabang-cabang yang penting dari iman.
Muhammad SAW pernah berkata mengenai iman, yakni : "Engkau percaya kepada Allah SWT, Para Malaikat-NYa, Kitab-Kitab-Nya, Para Rasul-Nya, Percaya pada Hari Kiamat dan Takdir-Nya, baiknya atau buruknya..". Iman yang sarat dengan dimensi kemutlakan inilah yang menjadi dasar untuk meningkatkan keyakinan ras manusia yang bersifat empiris-relatif. Makin kuat usaha manusia atas peningkatan upaya keyakinannya, maka akan makin besar pula peluang untuk mengerti dan merasakan nikmatnya iman yang sesungguhnya. Sehingga.., beraneka-ragam keyakinan yang ada justru dapat terpelihara pada jalan yang lurus-sentausa QS.42:52-53.
Dalam konteks tersebut dapat kita cermati bahwa, pengertian iman bukan semata-mata soal 'agama' dalam arti sempit, apalagi melulu sesuatu hal yang bersifat dogmatis. Lebih dari pengertian itu, iman dapat dimaknai sebagai sumber inspirasi yang tak pernah habis yang terus-menerus dapat digali dan diimplementasikan dalam kehidupan empiris di alam semesta ini.
Dan karena proses kehidupan alam semesta bersifat relatif-empiris, maka iman tidak bisa dipaksakan kehadirannya ditengah-tengah manusia. Justru karena upaya pemaksaaan (baik secara halus terorganisir maupun secara radikal) bertentangan dengan semangat empirisisme, sebagaimana empirisisme akan sangat membahayakan dirinya sendiri tanpa diiringi dengan pemberdayaan suatu rasionalitas-pikir yang sempurna QS.10:99-103. Melalui pemberdayaan rasionalitas-pikir yang sempurna inilah maka faktor iman akan kembali berbicara pada relung hati / jiwa ras manusia.
Jadi, secara jelas dapatlah kita pahami, posisi iman senantiasa berada pada seluruh bidang kesadaran, yakni pada awal kesadaran sebagai dasar atau landasan berpikir, ditengah sebagai pemandu atau pembimbing, dan sekaligus pada akhir setiap pemberdayaan suatu rasionalitas-pikir, sebagaimana dimensi absolut merupakan pangkal, pengisi, sekaligus ujung dari semua kehidupan empiristis di alam semesta raya ini.
Hubungan Rasionalitas Pikiran Dengan Iman
Mari terlebih dulu kita bahas sedikit mengenai pemberdayaan rasionalitas-pikir dalam hubungannya dengan faktor iman. Salah satu hal yang menarik dari fenomena tentang kemajuan pengetahuan ras manusia adalah, bahwa keingin-tahuan mengenai peristiwa apa saja yang terjadi di masa lalu nampaknya semakin berkembang luas dan mendalam, beriringan dengan kemajuan peradaban dan penemuan-penemuan baru yang akan terus dicapai di masa-masa mendatang. Dapat pula kita katakan bahwa, kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan akan semakin mampu menjelaskan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi di masa yang lalu.
Selanjutnya.., semakin jelas terungkapnya rahasia-rahasia ilmu pengetahuan di masa depan akan menjadikan semakin jelas pula rahasia-rahasia peristiwa yang belum terungkap di masa lalu. Seolah-olah, rahasia kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan dengan rahasia peristiwa di masa lalu bergerak saling mendekat. Sehingga.., sepertinya secara kualitatif waktu bergerak secara melingkar walau secara kuantitatif berjalan secara linier. Mungkin pada saatnya nanti, akhir dari suatu masa depan pada ujung waktu akan bertemu dengan suatu awal masa lalu tepat pada pangkalnya, mirip sekali dengan sebuah siklus kehidupan pada umumnya.
Tentu saja, tidak mungkin kita katakan bahwa peristiwa yang terjadi pada ujung suatu masa depan akan sama dengan apa yang telah terjadi pada periode paling awal dari masa yang telah lalu. Namun demikian, tidak mungkin pula menyangkal suatu kenyataan empiris dari aneka ragam siklus kehidupan di sekitar kita yang secara deduktif kira-kira berbunyi ; Bahwa akhir dari suatu siklus berarti pula merupakan permulaan dari siklus selanjutnya.
Bahwa akhir dari masa tenggelamnya matahari merupakan permulaan dari masa terbitnya, adalah suatu kelaziman yang semua orang sudah mengetahui. Namun, bahwa akhir dari hancurnya galaksi kita (dimana matahari adalah 'sebutir debu' diantara ratusan milyar 'debu' lain yang mengelilingi pusatnya) di ujung masa depan nanti adalah juga merupakan permulaan dari kehidupan kekal yang telah dijanjikan Sang Maha Pencipta, nampaknya tidak banyak ras manusia yang secara sadar mengakuinya sebagai suatu kelaziman dari siklus suatu kehidupan alam semesta raya.
Bahkan, mereka yang mengklaim diri sebagai golongan rasionalis dan pelopor terdepan panji empirisisme umumnya merasa risih dan enggan / gamang bersikap manakala faktor iman muncul menyeruak hati dan menggedor pintu ruang pikiran mereka. Padahal, melalui iman itulah kemajuan rasionalitas-peradaban dan spiritualitas-budaya ras manusia dapat terbimbing menuju kepada kesentausaan-kesejahteraan umum, kedamaian, dan kelestariannya hingga akhir masa.
Melalui iman itu pula, ras manusia dapat mencapai kebahagiaan sejati dan kemenangan yang sesungguhnya / hakiki manakala batasan alam semesta yang kita huni ini kelak musnah binasa. Melalui iman itu pula, pemberdayaan rasionalitas-pikir manusia akan terselamatkan dari kesesatan dalam upaya mengarungi proses ke tingkat alam kehidupan yang lebih tinggi lagi.
Namun sebagaimana yang sempat tadi disinggung, iman selamanya tidak akan pernah bermanfaat bagi ras manusia bilamana hadir sebagai akibat unsur pemaksaaan, atau bahkan sekedar karena ikut-ikutan. Unsur pemaksaan dapat berupa bujuk-rayu secara halus dengan diimingi aneka kenikmatan dan kemudahan, dapat pula berupa indoktrinasi terorganisir maupun terselubung. Cara pertama biasanya menghasilkan manusia-manusia yang apatis, cara kedua umumnya mencetak manusia-manusia radikal.
Unsur ikut-ikutan dalam perkara iman biasanya timbul akibat faktor keturunan, dimana faktor iman dalam aplikasinya hanya berdampak pada segi ritualitas belaka. Iman semacam ini merupakan iman warisan masa lalu yang kelak akan diwariskan juga secara baku pada masa selanjutnya, mirip sekali dengan semacam insting yang bekerja pada dunia hewan.
Selain faktor keturunan, unsur ikut-ikutan dapat pula diakibatkan oleh faktor kemunafikan / hypocritism, faktor inilah yang mengambil peran paling utama dalam proses kontaminasi iman. Baik diakibatkan oleh pemaksaan maupun karena ikut-ikutan mengenai iman, keduanya merupakan refleksi dari kurangnya pengetahuan mengenai manfaat iman bagi kemajuan peradaban dan kebudayaan ras manusia.
Tentu saja, hal demikian telah menghinggapi sebagian besar manusia di hampir semua putaran roda jaman, terkecuali pada periode-periode tertentu dimana Para Nabi pernah hadir menghiasi putaran bumi. Justru melalui kehadiran Para Nabi itulah faktor iman kembali termurnikan. Dan melalui kemurnian iman itu pula ras manusia dapat kembali melanjutkan peradaban dan mengembangkan kebudayaannnya. Demikianlah seterusnya..., hingga roda jaman kembali mengantarkan ras manusia berkubang dalam ketersesatan dan kezaliman yang lagi-lagi membahayakan kelestarian ras manusia itu sendiri.
Ada kalanya putaran roda jaman mengantarkan ras manusia kepada suatu tingkat kesejahteraan, keceriaan, dan kemakmuran, atau sekurangnya ketenangan hidup. Ada kalanya pula mampu menggiring kepada peperangan hebat yang mengakibatkan kematian massal dengan menyisakan berbagai kesengsaraan hidup berlarut-larut. Bahkan, adakalanya kematian lebih disukai oleh banyak manusia dibandingkan kehidupan yang begitu menjemukan dan membosankan yang dialaminya. Lalu, dimanakah sesungguhnya fungsi iman dalam pergulatan hidup ras manusia di bumi ini ?
Asal Dan Fungsi Iman
Sebelumnya telah dikatakan bahwa, melalui iman, rasionalitas-peradaban dan hati-budaya ras manusia dapat terbimbing menuju kesejahteraan umum termasuk kelestariannya hingga akhir masa. Telah disebutkan pula bahwa, melalui pemberdayaan rasionalitas-pikir yang sempurna maka iman akan kembali berbicara pada relung hati. Sebelum itu juga telah diketahui bahwa, terlepas dari faktor suka atau tidak, segala bentuk relatifitas-empiris di alam semesta ini pasti diawali dan diakhiri oleh suatu kemutlakan. Yakni, suatu kemutlakan yang tidak dibatasi oleh ruang dan tidak terkungkungi waktu.
Maka, semua pengertian mengenai hal ini dapat mengantarkan kita kepada salah satu dari fungsi iman. Yakni, sebagai sarana pemandu segala bentuk relatifitas-empiris dengan berbagai tingkat keyakinan yang ada, sejak titik awal (starting point) penciptaan hingga titik akhir suatu kemusnahan (the end of universe) semesta. Secara obyektif dapat dikatakan bahwa iman senantiasa berfungsi dalam melandasi, mengiringi, dan mengoreksi setiap kemajuan peradaban dan kebudayaan yang pernah dan akan dicapai ras manusia di kolong jagat semesta ini.
Bukankah sebelumnya ras manusia tidak mengenal apakah iman itu sebenarnya, bahkan, termasuk Para Nabi pun tidak mengenal apakah iman itu, sebelum mereka diangkat sebagai Rasul Allah SWT sebagaimana yang tertulis dalam QS.42:52. Dari pengertian ini saja dapatlah segera kita sadari, bahwa iman tidak bersumber dari buah-pikir atau renungan dari dalam diri manusia, betapapun kuatnya seseorang itu berusaha. Walaupun boleh dibilang ras manusia merupakan produk mutakhir di bumi yang telah mengalami proses evolusi suatu mahluk hidup selama ratusan juta tahun lamanya, atau bahkan hal itu sebagai kelanjutan dari proses pembentukan alam semesta beberapa milyar tahun yang lalu, tetap saja.., iman tidak dihasilkan dari proses itu.
Hingga saat ini kita telah membahas sekilas tentang yakin, proses terjadinya keyakinan, tingkatan keyakinan, hingga kepada prosesi tingkat keyakinan tertinggi yang pernah dicapai seorang ras manusia yang pernah hidup di bumi ini. Juga dibahas sedikit tentang keimanan, yang sesungguhnya memiliki dimensi tersendiri dibandingkan dimensi keyakinan.
Sebagaimana diketahui, iman bersifat lebih kepada segi spiritual-transendental dan berada dalam dimensi kemutlakan. Jika keyakinan berada dalam tataran rasionalitas-empiristis, maka keimanan berada dalam tataran yang lebih tinggi. Jadi, keimanan bersifat absolut dan tak bisa ditambah atau dikurangi pengertiannya. Walaupun.., secara kualitatif iman seseorang kadang meningkat secara bertahap, terus meninggi tak berhenti, kadang menurun, turun drastis, atau bahkan hilang tak berbekas sama sekali.
Dikatakan dalam kitab Fadhail Amal yang banyak memuat hadits shahih didalamnya bahwa, jika iman diumpamakan sebagai sebuah pohon, maka iman memiliki 70 lebih cabang-cabangnya. Tonggak yang paling utama adalah Kalimat 'Laa ilaaha illa Allah' dan salah-satu cabangnya yang paling rendah adalah 'menyingkirkan sesuatu yang membahayakan agar tidak mengenai seseorang yang tengah berjalan', sementara sifat malu dan sabar merupakan cabang-cabang yang penting dari iman.
Muhammad SAW pernah berkata mengenai iman, yakni : "Engkau percaya kepada Allah SWT, Para Malaikat-NYa, Kitab-Kitab-Nya, Para Rasul-Nya, Percaya pada Hari Kiamat dan Takdir-Nya, baiknya atau buruknya..". Iman yang sarat dengan dimensi kemutlakan inilah yang menjadi dasar untuk meningkatkan keyakinan ras manusia yang bersifat empiris-relatif. Makin kuat usaha manusia atas peningkatan upaya keyakinannya, maka akan makin besar pula peluang untuk mengerti dan merasakan nikmatnya iman yang sesungguhnya. Sehingga.., beraneka-ragam keyakinan yang ada justru dapat terpelihara pada jalan yang lurus-sentausa QS.42:52-53.
Dalam konteks tersebut dapat kita cermati bahwa, pengertian iman bukan semata-mata soal 'agama' dalam arti sempit, apalagi melulu sesuatu hal yang bersifat dogmatis. Lebih dari pengertian itu, iman dapat dimaknai sebagai sumber inspirasi yang tak pernah habis yang terus-menerus dapat digali dan diimplementasikan dalam kehidupan empiris di alam semesta ini.
Dan karena proses kehidupan alam semesta bersifat relatif-empiris, maka iman tidak bisa dipaksakan kehadirannya ditengah-tengah manusia. Justru karena upaya pemaksaaan (baik secara halus terorganisir maupun secara radikal) bertentangan dengan semangat empirisisme, sebagaimana empirisisme akan sangat membahayakan dirinya sendiri tanpa diiringi dengan pemberdayaan suatu rasionalitas-pikir yang sempurna QS.10:99-103. Melalui pemberdayaan rasionalitas-pikir yang sempurna inilah maka faktor iman akan kembali berbicara pada relung hati / jiwa ras manusia.
Jadi, secara jelas dapatlah kita pahami, posisi iman senantiasa berada pada seluruh bidang kesadaran, yakni pada awal kesadaran sebagai dasar atau landasan berpikir, ditengah sebagai pemandu atau pembimbing, dan sekaligus pada akhir setiap pemberdayaan suatu rasionalitas-pikir, sebagaimana dimensi absolut merupakan pangkal, pengisi, sekaligus ujung dari semua kehidupan empiristis di alam semesta raya ini.
Hubungan Rasionalitas Pikiran Dengan Iman
Mari terlebih dulu kita bahas sedikit mengenai pemberdayaan rasionalitas-pikir dalam hubungannya dengan faktor iman. Salah satu hal yang menarik dari fenomena tentang kemajuan pengetahuan ras manusia adalah, bahwa keingin-tahuan mengenai peristiwa apa saja yang terjadi di masa lalu nampaknya semakin berkembang luas dan mendalam, beriringan dengan kemajuan peradaban dan penemuan-penemuan baru yang akan terus dicapai di masa-masa mendatang. Dapat pula kita katakan bahwa, kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan akan semakin mampu menjelaskan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi di masa yang lalu.
Selanjutnya.., semakin jelas terungkapnya rahasia-rahasia ilmu pengetahuan di masa depan akan menjadikan semakin jelas pula rahasia-rahasia peristiwa yang belum terungkap di masa lalu. Seolah-olah, rahasia kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan dengan rahasia peristiwa di masa lalu bergerak saling mendekat. Sehingga.., sepertinya secara kualitatif waktu bergerak secara melingkar walau secara kuantitatif berjalan secara linier. Mungkin pada saatnya nanti, akhir dari suatu masa depan pada ujung waktu akan bertemu dengan suatu awal masa lalu tepat pada pangkalnya, mirip sekali dengan sebuah siklus kehidupan pada umumnya.
Tentu saja, tidak mungkin kita katakan bahwa peristiwa yang terjadi pada ujung suatu masa depan akan sama dengan apa yang telah terjadi pada periode paling awal dari masa yang telah lalu. Namun demikian, tidak mungkin pula menyangkal suatu kenyataan empiris dari aneka ragam siklus kehidupan di sekitar kita yang secara deduktif kira-kira berbunyi ; Bahwa akhir dari suatu siklus berarti pula merupakan permulaan dari siklus selanjutnya.
Bahwa akhir dari masa tenggelamnya matahari merupakan permulaan dari masa terbitnya, adalah suatu kelaziman yang semua orang sudah mengetahui. Namun, bahwa akhir dari hancurnya galaksi kita (dimana matahari adalah 'sebutir debu' diantara ratusan milyar 'debu' lain yang mengelilingi pusatnya) di ujung masa depan nanti adalah juga merupakan permulaan dari kehidupan kekal yang telah dijanjikan Sang Maha Pencipta, nampaknya tidak banyak ras manusia yang secara sadar mengakuinya sebagai suatu kelaziman dari siklus suatu kehidupan alam semesta raya.
Bahkan, mereka yang mengklaim diri sebagai golongan rasionalis dan pelopor terdepan panji empirisisme umumnya merasa risih dan enggan / gamang bersikap manakala faktor iman muncul menyeruak hati dan menggedor pintu ruang pikiran mereka. Padahal, melalui iman itulah kemajuan rasionalitas-peradaban dan spiritualitas-budaya ras manusia dapat terbimbing menuju kepada kesentausaan-kesejahteraan umum, kedamaian, dan kelestariannya hingga akhir masa.
Melalui iman itu pula, ras manusia dapat mencapai kebahagiaan sejati dan kemenangan yang sesungguhnya / hakiki manakala batasan alam semesta yang kita huni ini kelak musnah binasa. Melalui iman itu pula, pemberdayaan rasionalitas-pikir manusia akan terselamatkan dari kesesatan dalam upaya mengarungi proses ke tingkat alam kehidupan yang lebih tinggi lagi.
Namun sebagaimana yang sempat tadi disinggung, iman selamanya tidak akan pernah bermanfaat bagi ras manusia bilamana hadir sebagai akibat unsur pemaksaaan, atau bahkan sekedar karena ikut-ikutan. Unsur pemaksaan dapat berupa bujuk-rayu secara halus dengan diimingi aneka kenikmatan dan kemudahan, dapat pula berupa indoktrinasi terorganisir maupun terselubung. Cara pertama biasanya menghasilkan manusia-manusia yang apatis, cara kedua umumnya mencetak manusia-manusia radikal.
Unsur ikut-ikutan dalam perkara iman biasanya timbul akibat faktor keturunan, dimana faktor iman dalam aplikasinya hanya berdampak pada segi ritualitas belaka. Iman semacam ini merupakan iman warisan masa lalu yang kelak akan diwariskan juga secara baku pada masa selanjutnya, mirip sekali dengan semacam insting yang bekerja pada dunia hewan.
Selain faktor keturunan, unsur ikut-ikutan dapat pula diakibatkan oleh faktor kemunafikan / hypocritism, faktor inilah yang mengambil peran paling utama dalam proses kontaminasi iman. Baik diakibatkan oleh pemaksaan maupun karena ikut-ikutan mengenai iman, keduanya merupakan refleksi dari kurangnya pengetahuan mengenai manfaat iman bagi kemajuan peradaban dan kebudayaan ras manusia.
Tentu saja, hal demikian telah menghinggapi sebagian besar manusia di hampir semua putaran roda jaman, terkecuali pada periode-periode tertentu dimana Para Nabi pernah hadir menghiasi putaran bumi. Justru melalui kehadiran Para Nabi itulah faktor iman kembali termurnikan. Dan melalui kemurnian iman itu pula ras manusia dapat kembali melanjutkan peradaban dan mengembangkan kebudayaannnya. Demikianlah seterusnya..., hingga roda jaman kembali mengantarkan ras manusia berkubang dalam ketersesatan dan kezaliman yang lagi-lagi membahayakan kelestarian ras manusia itu sendiri.
Ada kalanya putaran roda jaman mengantarkan ras manusia kepada suatu tingkat kesejahteraan, keceriaan, dan kemakmuran, atau sekurangnya ketenangan hidup. Ada kalanya pula mampu menggiring kepada peperangan hebat yang mengakibatkan kematian massal dengan menyisakan berbagai kesengsaraan hidup berlarut-larut. Bahkan, adakalanya kematian lebih disukai oleh banyak manusia dibandingkan kehidupan yang begitu menjemukan dan membosankan yang dialaminya. Lalu, dimanakah sesungguhnya fungsi iman dalam pergulatan hidup ras manusia di bumi ini ?
Asal Dan Fungsi Iman
Sebelumnya telah dikatakan bahwa, melalui iman, rasionalitas-peradaban dan hati-budaya ras manusia dapat terbimbing menuju kesejahteraan umum termasuk kelestariannya hingga akhir masa. Telah disebutkan pula bahwa, melalui pemberdayaan rasionalitas-pikir yang sempurna maka iman akan kembali berbicara pada relung hati. Sebelum itu juga telah diketahui bahwa, terlepas dari faktor suka atau tidak, segala bentuk relatifitas-empiris di alam semesta ini pasti diawali dan diakhiri oleh suatu kemutlakan. Yakni, suatu kemutlakan yang tidak dibatasi oleh ruang dan tidak terkungkungi waktu.
Maka, semua pengertian mengenai hal ini dapat mengantarkan kita kepada salah satu dari fungsi iman. Yakni, sebagai sarana pemandu segala bentuk relatifitas-empiris dengan berbagai tingkat keyakinan yang ada, sejak titik awal (starting point) penciptaan hingga titik akhir suatu kemusnahan (the end of universe) semesta. Secara obyektif dapat dikatakan bahwa iman senantiasa berfungsi dalam melandasi, mengiringi, dan mengoreksi setiap kemajuan peradaban dan kebudayaan yang pernah dan akan dicapai ras manusia di kolong jagat semesta ini.
Bukankah sebelumnya ras manusia tidak mengenal apakah iman itu sebenarnya, bahkan, termasuk Para Nabi pun tidak mengenal apakah iman itu, sebelum mereka diangkat sebagai Rasul Allah SWT sebagaimana yang tertulis dalam QS.42:52. Dari pengertian ini saja dapatlah segera kita sadari, bahwa iman tidak bersumber dari buah-pikir atau renungan dari dalam diri manusia, betapapun kuatnya seseorang itu berusaha. Walaupun boleh dibilang ras manusia merupakan produk mutakhir di bumi yang telah mengalami proses evolusi suatu mahluk hidup selama ratusan juta tahun lamanya, atau bahkan hal itu sebagai kelanjutan dari proses pembentukan alam semesta beberapa milyar tahun yang lalu, tetap saja.., iman tidak dihasilkan dari proses itu.
Iman bukanlah produk empirisme, seberapapun lama waktu yang mesti ditempuh. Melainkan, Iman adalah produk dari Zat Paling Kekal (Al Baqiy) Yang Memulai Penciptaan (Al Badii') alam semesta beserta seluruh isinya. Melalui dimensi kekekalan (absolutisme) itulah Iman berasal, yang kemudian memproses pembentukan dimensi relatifitas-empiris sebagaimana yang kita huni, nikmati dan amati sekarang ini. Melalui dimensi kekekalan itulah Dia memastikan terwujudnya apa saja yang telah ditetapkan dan dijanjikan, karenanya Dia bergelar Al Mu'min.
Maka, Iman bukanlah hal yang bisa diperdebatkan oleh rasionalitas-pikir dan bukan pula hal yang bisa dipaksakan. Melainkan dari itu, Iman adalah karunia dari Maha Pencipta yang merupakan fitrah bagi manusia yang mau menggunakan akalnya untuk berfikir. Oleh sebab itu, permasalahannya berakhir pada mau atau tidaknya hati mengakui melalui kesadaran penuh dari usaha berpikirnya secara optimal. Pada akhirnya memang cuma soal mau atau tidak mau menganggukkan hati. Perkara demikian tentunya sangat mudah untuk dilaksanakan semua orang, karenanya Iman bukanlah muncul sebagai upaya pemaksaaan, melainkan hadir sebagai akibat dari kesadaran yang sempurna dan kerelaan dalam menerima kebenaran.
Mereka yang mau menganggukkan hati disebut sebagai para mu'minin (orang-orang yang beriman) dan bagi mereka yang tidak mau mengakuinya disebut para kaafirin (orang-orang yang menolak beriman). Orang-orang yang mengambil manfat untuk kepentingan egoisme-diri terhadap dua kategori yang berbeda diatas disebut sebagai golongan munafiqin (para pengkhianat, hypocrite, split personality). Masing-masing klasifikasi ini mengandung kadar yang berbeda-beda pada setiap individu pada semua kelompok masyarakat dalam setiap kurun waktu dan jaman.
Karena perbedaan kadar pemahaman dalam totalitas pengakuan hati berdampak mengakibatkan perbedaan tingkat keimanan, kemunafikan, bahkan kekafiran tertentu dalam diri tiap orang, maka ras manusia memerlukan suatu aturan umum yang bersifat universal, komprehensif, selalu up to date dan senantiasa abadi baik dalam segi praksis maupun segi postulasinya. Aturan umum ini dipakai sebagai patokan atau dasar penilaian terhadap kadar keimanan atau kekafiran seseorang dalam segala suasana dan setiap jaman. Tentu saja, secara esensial aturan itu bersumber dari dimensi kekekalan (absolutis) karena dari dimensi itulah segala faktor yang berkaitan dengan ketersesatan empirisme dapat terhindarkan.
Sebagaimana kita ketahui, bahkan mengambil kaidah obyektif dari paham empirisme itu sendiri, bahwa ke-takterhingga-an adalah pangkal sekaligus ujung dari segala bentuk ukuran relatifitas-empiris, akan menjadi mustahil kiranya untuk dihindari bahwa semua relatifitas kehidupan alam raya ini akan menemui kekekalannya diujung suatu masa nanti.
Berkenaan dengan dimensi kekekalan yang pasti akan ditemui, dan demi menjaga eksistensi diri dari ketersesatan dalam upaya menuju kearahnya, maka aturan umum yang bersumber dari dimensi kekekalan itulah yang menjadi satu-satunya pedoman akurat bagi ras manusia. QS.4:136.
Bahaya Kemunafikan Dan Kemusyrikan
Orang-orang yang beriman sebagaimana dijelaskan dalam ayat ke 136 dari Al Qur'an surat An-Nisaa tersebut, diperintahkan oleh Tuhan ALLAH SWT agar senantiasa memantapkan keimanannnya, dan terus berusaha meningkatkan upaya pemahamannya dalam mengarungi proses kehidupan empiris ini, sehingga imannya bisa semakin kokoh dan sempurna.
Dengan kata lain, ada usaha atas pemantapan iman yang bersifat dinamis, bukan statis. Hal demikian menjadi sangat penting karena mengingat bahwa, keimanan seseorang yang telah tertanam dalam hatinya, tidak mustahil akan tercerabut keluar manakala cakrawala-pikirnya tidak sanggup lagi menampung berbagai pertanyaan dan persoalan yang bermunculan sebagai akibat dari meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di kemudian hari.
Yang lebih membahayakan dari hal itu adalah seseorang kembali kafir justru setelah orang itu bertobat dan menyadari kekafiran sebelumnya. Pada ayat selanjutnya.QS.4:137, dijelaskan bahwa orang semacam ini telah putus harapannya dari ampunan Zat Maha Pengampun (Al Ghofuur) dan kehilangan orientasi dari jalan yang lurus dan benar. Bukan Tuhannya yang tidak mau mengampuni, tapi orang-orang semacam itu telah menutup harapan di hatinya sendiri terhadap ampunan Tuhan. Mereka itulah orang-orang munafik yang akan terkena siksaan yang sangat menghinakan di dunia ini QS.4:138, dan di Akhirat nanti akan ditempatkan dalam neraka yang paling dasar sebagai balasan yang setimpal dan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya QS.4:145.
Orang-orang munafik memiliki peran yang sangat besar dalam mengadu-domba sesama orang beriman dan gemar sekali merusak setiap usaha perjanjian damai antar golongan manusia. Mereka sering bersumpah (demi melindungi kepentingan egoisme-diri) namun di kemudian hari sering memungkiri sumpahnya sendiri. Yang demikian itu diakibatkan oleh karena sebelumnya mereka telah mengimani, lalu kembali menjadi kafir. Sehingga, hati mereka tertutupi ulah mereka sendiri dan tak mampu lagi memahami apalagi menerima kebenaran universal QS.63:3.
Karena sebab itulah, sifat kemunafikan cenderung mengantarkan manusia untuk sering membuat dan merekayasa kebenaran menurut ukuran egoisme-diri sendiri, sering membenturkan berbagai perbedaan nilai dan persepsi yang berkembang ditengah masyarakat, dan mengarahkannya pada situasi kacau yang mampu meresahkan suasana, untuk kemudian berupaya mengambil keuntungan semaksimal mungkin atas peristiwa kekacauan yang telah terjadi.
Tentu saja, sifat kemunafikan sedemikian itu akan sangat membahayakan kehidupan ras manusia. Fitnah dan berita bohong menjadi konsumsi informasi sehari-hari, yang jika dibiarkan akan semakin meraja-lela kemana-mana. Tiada lagi proses klarifikasi, dan menghilangnya budaya check and recheck / tabayyun. Dan ujung dari hal semacam ini akan mengantarkan ras manusia pada muara kemusyrikan yang nyata.
Kemusyrikan yang nyata terjadi ditengah-tengah masyarakat berupa terpecah-belahnya agama menjadi beberapa golongan yang saling berselisih satu sama lain, dimana tiap-tiap golongan merasa bangga dengan golongannya masing-masing QS.30:31-32. Akibat saling selisih maka terjadilah pertengkaran keinginan yang membawa kepada peperangan dan bencana yang diakibatkan oleh tangan-tangan mereka sendiri. Demikianlah hal ini telah terjadi sejak jaman dahulu kala, bukan saat sekarang ini saja, sebagai akibat kemusyrikan yang telah meracuni tingkah-laku kehidupan mereka QS.30:41-42.
Maka jelaslah bahwa, kemusyrikan adalah musuh bersama bagi kelestarian dan kesentausaan hidup ras manusia, karena kemusyrikan bertentangan dengan keimanan. Dan apapun bentuknya, kemusyrikan senantiasa mengkontaminasi iman karena hal itu merupakan akibat adanya faktor kemunafikan.
Mengingat semakin kompleks segala permasalahan yang terjadi dalam semua segi kehidupan manusia dewasa ini, maka berbagai corak kemunafikan hadir dalam bentuk yang semakin absurd untuk digambarkan. Namun demikian, untuk keperluan bahasan ini kita dapat kemukakan dua jalur utama kemunafikan darimana ia mengalir dalam wujud tindakan, yakni kemunafikan pikiran rasional dan kemunafikan hati-jiwa spiritual. Keduanya menghasilkan output yang sama buruknya, hanya barangkali ada perbedaan dalam segi intensitasnya.
Kemunafikan yang melulu mengalir melalui hati adalah kemunafikan yang lazim menghinggapi kebanyakan ras manusia, Kemunafikan yang lebih sering muncul di pikiran adalah kemunafikan yang menghinggapi sebagian manusia lainnya.
Kita mengetahui, perbedaan antara apa yang dipikirkan secara rasional dengan apa yang dirasakan secara psikologis akan mampu menghasilkan suatu tindakan yang saling bertentangan. hal ini akan dapat membuat seseorang terjebak dalam suasana kemunafikan. Dalam kondisi demikian, sekurangnya ada dua pilihan tindakan yang akan menghampirinya. Apakah akan maju terus mewujudkan suatu tindakan walau perasaan dalam hati menentangnya, atau mengambil kebijakan lain yang sesuai dengan kemauan perasaannya. Dilematika semacam ini tentu bukanlah merupakan bagian utama dari ciri-ciri kemunafikan, karena antara pikiran dan hati benar-benar sedang berada dalam konflik internal/dalam diri yang tak disengaja. Artinya.., suatu bentuk keyakinan baru benar-benar sedang dibutuhkan dalam kondisi sedemikian itu.
Persoalannya akan menjadi sangat berlainan bilamana perbedaan antara apa yang dipikirkan secara rasional dengan apa yang diniatkan/ dicanangkan dalam hati, serta apa yang akhirnya diucapkan atau dilakukan itu, benar-benar direalisasikan secara sadar dan sengaja. Tentu saja, sangatlah sulit mendeteksi penyakit kemunafikan semacam ini, karena sumbernya yang utama berasal dari dasar kedalaman hati. Hanya orang-orang yang telah mencapai suatu tingkat kesadaran spiritualitas yang tinggi / telah memiliki ketajaman nurani yang memadai yang akan mampu mendeteksinya. Manusia sedemikian itu tentulah sangat sedikit jumlahnya di muka bumi ini.
Karena itulah kiranya, bahaya dari penyakit kemunafikan ini hanya dapat diukur dan diketahui dari dampak kerusakan yang dihasilkannya. Hanya orang-orang khusus yang telah mencapai suatu tingkat spiritualitas yang sangat tinggi yang mampu melihat kadar kemunafikan dalam diri manusia, serta bagaimana mengobatinya. Namun untuk kemaslahatan masyarakat secara umum, agama telah menerangkan ciri-ciri tertentu yang biasa melekat pada diri seseorang yang terkena penyakit munafik ini.
Jika seorang pemuda kaya-raya berencana membina sebuah rumah-tangga dengan niat untuk mencapai kebahagiaan pada hari tua bersama anak-anak dan cucu-cucunya, lalu menikahi gadis cantik-jelita yang diam-diam berniat mengeruk hartanya, walaupun, bujuk-rayunya seolah menunjukkan rencana yang sama dengan suaminya.., maka bisa jadi selang beberapa tahun kemudian si pemuda telah menjadi seorang duda kusut-muka yang melarat dan hidup sendirian secara merana. Beruntung sekali ia tidak mati akibat kecelakaan lalu-lintas atau dengan modus-operandi lain yang telah dipersiapkan oleh mantan istri dan kekasih gelapnya.
Kisah-Kisah tragis semacam ini tentu dilandasi oleh pengertian mengenai betapa bahayanya sifat kemunafikan yang menggumpal dalam diri seorang manusia karena didalamnya terdapat unsur kebohongan atau dusta, ingkar janji, dan pengkhianatan.
Kisah diatas hanyalah sekedar ilustrasi ringan yang dalam realita sehari-hari tentu tidak mengalir sesederhana itu. Namun, sebagaimana cita-cita para pendiri suatu negara dengan ideologi bangsa yang sesuai dan selaras dengan semangat rakyatnya, dan memiliki undang-undang dasar yang begitu fleksibel disertai tujuan-tujuan pendiriannya yang luhur dan ditambah dengan berbagai sumber kekayaan alam yang nyaris tak terbatas.., semua kehebatan itu bukanlah merupakan jaminan yang dapat diandalkan untuk mewujudkan apa-apa saja yang telah disepakati sebagai cita-cita bersama.
Segala perangkat sistem kenegaraan yang paling canggih sekalipun, bahkan dengan disertai berbagai aturan hukum paling lengkap yang mampu dirancang oleh berbagai pakar dibidangnya, segenap kecanggihan itu tidak akan berfungsi optimal manakala unsur manusia yang merupakan faktor terpenting sebagai penggerak setiap dinamika sistem yang ada justru terkontaminasi unsur kemunafikan dalam diri mereka masing-masing.
Gambaran yang lebih mengerikan adalah apabila hal itu terjadi pada begitu banyaknya manusia dalam sebuah bangsa atau suatu negara, dimana unsur kemunafikan telah lama meresapi hingga mengendap di seluruh elemen, mulai dari pembuluh akar sampai kepada setiap ranting dan pucuk-pucuk daunnya.
Gambaran semacam ini bukanlah hendak mengada-adakan yang tak ada, atau hendak mendramatisir suatu hal yang kecil. Namun.., begitu meratanya unsur kemunafikan menjangkiti segenap sistem kehidupan berbangsa dan bernegara menjadikan berbagai aturan hukum yang ada hanya nampak sebagai bualan belaka. Segala janji keadilan dan kemakmuran bersama hanyalah sekedar kelakar politik akibat konspirasi dan korupsi dalam berbagai bentuk dan lini telah mewabah dimana-mana. Ditambah dengan praktek jual-beli jabatan dihampir semua posisi strategis membuat sumpah dan amanah menjadi begitu murah dan mudah dikhianati....
Maka apa yang kemudian menimpa bangsa dan negara itu tentunya semakin jauh dari tujuan dan cita-cita bersama yang telah dirancang oleh para pendirinya. Tiada lain yang menghampiri kecuali lebih banyak terjadi kerusakan dan kebangkrutan sebuah negeri yang sebenarnya kaya-raya dihiasi berbagai potensi. Semua manusia, bahkan sampai kepada setiap bayi yang baru dilahirkan di negeri itu secara statistik terkena hutang sebagai akibat defisit negara yang sedemikian besarnya.
Akibat tekanan konflik yang mengelilingi atmosfer negeri itu, ditambah dengan kemelaratan yang semakin menjadi, maka nilai-nilai kemusyrikan semakin merebak diantara sesama manusia. Seorang bapak hingga tega mencabuli anak perempuannya, seorang anak memperkosa ibu kandungnya, seorang manusia memangsa bangkai manusia, seorang bocah memakan bangkai bayi.., berbagai berita aneh, informasi buruk dan mencengangkan senantiasa muncul sepanjang hari, memaksa pikiran masyarakat luas untuk langsung menelan informasi tanpa diberi kesempatan untuk mengunyah dan memilah-milah mana yang terbaik dikonsumsi oleh pikirannya.
Pembakaran antar sesama manusia, pembakaran antar kampung, bumi-hangus antar kota, dan bermacam tindak kriminalitas sosial pun mengalir deras tak terbendung. Sebagaimana aliran banjir besar yang merendam berbagai kota, atau ledakan-ledakan bom yang mengguncang tiap-tiap sudutnya. Semua kerusakan dan kebangkrutan itu terjadi akibat ulah manusia. Dan walaupun seolah sangat terkesan begitu mendramatisir suatu peristiwa, gambaran tersebut sesungguhnya adalah kisah nyata yang pernah terjadi di sebuah negeri yang penduduknya konon terkenal dengan sikap ramah-tamah, toleran, dan memiliki nilai-nilai religiusitas yang tinggi.
Mengingat kembali isi dari QS.30:41-42 sebagaimana disebut diatas, maka faktor apa lagikah yang menjadi sebab terjadinya bencana di negeri itu kalau bukan karena faktor kemusyrikan dari para penghuninya. Karena sifat religiusitas para penghuninya nampak begitu menonjol dan mengemuka dalam berbagai aktifitas kehidupan mereka, maka tentu ada sejenis kemunafikan yang telah merasuk sedemikian kuat. Kemunafikan itu tercermin pada realita phisik yang memberi kesan kebaikan moral, agamis, dan harmonis, namun dalam realita psikis menghasilkan prilaku yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah-kaidah keimanan.
Perlu Usaha Untuk Meningkatkan Iman
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sifat kemunafikan itu telah sedemikian rupa massive-nya sehingga hampir merusak seluruh sistem yang ada. Akibatnya adalah sebagaimana yang telah sebagian kecil dipaparkan dalam tulisan tadi. Kemunafikan hati membuat sebagian besar manusia mudah terprovokasi dan gampang terbakar emosi, kemunafikan pikiran menjadikan rasionalitas tidak lebih digunakan hanya sebagai alat argumentasi untuk mendukung keinginan-keinginan kotor yang tersembunyi.
Celakanya, keinginan-keinginan kotor yang tersembunyi akan nampak semakin samar diketahui masyarakat umum bila dimiliki oleh mereka yang ahli dalam usaha atas pikiran namun tanpa diimbangi keahlian usaha atas iman. Oleh karenanya, orang-orang yang mengaku beriman tanpa disertai bekal yang cukup dalam hal rasionalitas-pikiran menjadi begitu mudah dimangsa orang-orang yang ahli dalam siasat pikiran, walaupun berbagai tindak-prilakunya tanpa dilandasi oleh iman.
Manakala hal demikian terus-menerus dibiarkan berlarut-larut, maka apakah lagi yang dapat diharapkan dari negeri semacam itu kecuali menunggu kerusakan dan bencana yang pasti tak terbayangkan lagi besarnya. Orang-orang yang merasa masih memiliki iman dalam dirinya tentu tidak rela membiarkan kerusakan dan bencana di negerinya semakin menjadi dan menggila.
Mengingat bahwa ambang kehancuran itu juga disebabkan oleh kelemahan dan kelengahan orang-orang yang merasa masih memiliki iman, selain terutama diakibatkan oleh sifat kemunafikan yang akhirnya bermetamorfosis menjadi perilaku kemusyrikan yang nyata dan merata, maka tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk memperbaiki keadaan di negeri itu kecuali dengan cara pemurnian, peningkatan, dan pemantapan iman secara terus-menerus, sebagaimana tertuang dalam QS.4:136 tersebut.
Pemurnian, peningkatan, dan pemantapan iman secara terus-menerus tentunya hanya mau dan bisa dilakukan oleh orang-orang yang merasa masih memiliki iman, dari golongan agama manapun ia berasal, karena hanya dalam diri mereka yang masih merasa beriman sajalah, harapan perbaikan itu masih bersemayam.
Pemurnian iman dilakukan dengan cara meluruskan, membersihkan dan mewaspadai niat orang beriman dalam hatinya masing-masing pada setiap aktifitas kehidupannya. Bahwa segala apa yang akan dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan semata-mata hanya ditujukan kepada keridhoan Allah SWT, Tuhan Seluruh Alam Semesta, dengan mengikuti teladan Nabi SAW seoptimal mungkin.
Dari usaha atas pemurnian iman ini, kita akan mengenal Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci (Al Quddus) tak tercela oleh berbagai unsur atau bagian atau sifat apapun. Karenanya Dialah Zat Yang Maha Tunggal (Al Ahad) yang menjadi tumpuan segala harapan dan keinginan (Al Shomad) semua mahluk ciptaan-Nya, sebab Dia tidak berasal dari sesuatu dan tidak pula melahirkan sesuatu dari Zat-Nya. Maka pastilah Dia adalah Zat Paling Awal tanpa proses permulaan (Al Awwalu) sekaligus sebagai Zat Paling Akhir tanpa proses berkesudahan atau kemusnahan (Al Aakhir). Jadi sesungguhnya, tak ada sesuatu apapun yang menyerupai atau menyamai Zat-Nya Yang Maha Suci.
Dengan berbekal kesucian niat untuk mengharapkan ridho dari Zat Maha Suci yang tiada taranya ini, maka orang-orang yang beriman kepada-NYa dapat selalu berusaha memelihara keikhlasan ucapan dan tindakannya. Sehingga, diharapkan mampu menghindarkan diri dari virus kemunafikan pikiran dan hati. Pikirannya tidak akan digunakan lagi sebagai alat argumentasi untuk menyokong keinginan-keinginan kotor dan kejahatan yang tersembunyi, melainkan difungsikan sebagai sarana penerang hati, sebagai alat untuk menetapkan keyakinan dalam hati. Logikanya.., ia akan mampu berkata dan bertindak jujur. Sekedar sebagai contoh dapat kita simak sedikit kisah sahabat Nabi SAW berikut ini..,
Suatu ketika Hanzhalah RA bersama beberapa sahabat lainnya berkumpul mendengarkan nasehat Nabi SAW dalam suatu majelis. Begitu berkesannya nasehat Nabi SAW sehingga membuat hati mereka menjadi lembut sampai meneteslah air mata membasahi pipi-pipi mereka, seolah surga dan neraka nampak begitu jelas dihadapan mereka.
Setelah selesai merekapun pulang ke rumah masing-masing, termasuk Hanzalah RA. Ia menemui anak-anaknya, bercanda dn bercengkrama bersama mereka, serta bercumbu bersama istrinya dengan gembira. Tiba-tiba.., hatinya tersentak bicara, Hanzhalah..!.. sekarang kamu sudah jadi orang munafiik..!, buktinya sikapmu kini jauh berbeda dengan keadanmu tadi ketika berada di majelis Nabi SAW.., kenapa kamu sampai beginii..! ".
Mendadak Hanzhalah bangkit dan berhenti dari kesenangannya, ia diam merenung, dan akhirnya merasa sedih dan kecewa dengan keadaan dirinya. Hanzhalah RA keluar rumah sambil terus berkata-kata dengan sedihnya.., "Aku telah jadi orang munafiik.., Hanzhalah telah jadi orang munafiik..," Ketika itu, Abu Bakar RA mendengar apa yng dikatakan sahabatnya yang sedang cemas dan nyaris marah itu... "Subhaanallaah..!.., Wahai Hanzhalah..!, apa yang telah engkau katakaan..!,.. sekali-kali kamu bukanlah orang munafiiik..! Lalu Hanzhalah RA menjelaskan apa yang dialaminya. Abu Bakar RA menanggapi penuturan Hanzhalah RA dengan sungguh-sungguh, kemudian ia berkata, " Wahai Hanzhalah, jika demikian halnya.., keadaanku pun seperti itu,,".
Kemudian mereka berdua pergi menemui Rosulullah SAW, lalu Hanzhalah berkata dihadapan beliau SAW. " Yaa Rosulullah.., saya telah jadi orang munafik, ketika kami berada dalam majelismu mendengar nasehat dan berita tentang surga dan neraka, hati kami menjadi lembut dan kami merasa takut dengan hari kiamat.., tapi ketika kami kembali berkumpul bersama anak-istri dan bercanda bersama mereka, keadaan kami gembira dan kami lupa dengan negeri akhirat..". Mendengar penjelasan itu Nabi SAW berkata , " Demi Allah yang jiwaku ada digenggaman-Nya, jika setiap saat keadaanmu seperti ketika berada di dekat aku, niscaya para malaikat akan turun mengucapkan salam kepadamu, di tempat tidurmu maupun saat kamu sadang berjalan.., tapi wahai Hanzhalah.., keadaan seperti itu jarang terjadi.., ".
Contoh diatas adalah penggalan kisah sejarah di jaman Nabi SAW yang menjelaskan bagaimana seorang manusia begitu peduli dengan kadar keimanan yang ia khawatir telah mencemarkannya. Justru karena kekhawatiran itulah yang menjadikan sebab, sehingga ia dapat terus memelihara kemurnian imannya. Sikap khawatir tersebut menjadi sedemikian rupa wajarnya dimiliki oleh para sahabat Nabi SAW ketika itu, sehingga mereka tidak segan-segan untuk saling koreksi mengenai kadar keimanan masing-masing. Alhasil, kadar keimanan mereka pun semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Peningkatan kadar iman itu, tentu saja, tidak terjadi begitu saja tanpa usaha untuk memperjuangkannya. Melainkan, keimanan mereka meningkat melalui berbagai ujian yang harus ditempuh baik ujian secara lahir maupun secara batin. Diantaranya adalah ketika terjadi perang Uhud QS.3:152-155, perang Khandak QS.33:9-11, perang Tabuk QS.9:120-121, peristiwa fitnah yang dialami 'Aisyah RA binti Abu Bakar RA setelah selesai perang dengan Bani Mustalaq QS.24:11-23, peristiwa Bai'at Asy Syajarah QS.48:10 & 18, dan berbagai peristiwa lain yang semuanya itu merupakan ujian untuk meningkatkan kadar keimanan mereka.
Dengan kata lain, keimanan Para Sahabat Radhiallohu'anhuma secara bertahap semakin meningkat beriringan dengan berbagai peristiwa empiris yang mereka alami. Jadi, keimanan mereka bukanlah keimanan yang membabi-buta, keyakinan mereka bukanlah sejenis keyakinan yang berdasarkan tradisi atau adat-istidat / kebiasaan semata. Keimanan Para Sahabat Radhiallohu'anhumma bersumber dari dimensi kemutlakan QS.42:52, yang mewujud dalam ketaatan dan kepatuhan mutlak kepada Allah SWT dan Rosul-Nya, dan keyakinan mereka bersumber dari pengalaman hidup bersama Muhammd SAW. Keyakinan mereka nampak jelas begitu dinamis karena hadir ditengah-tengah mereka secara empiris. Sehingga, segala permasalahan kedunian yang mereka alami senantiasa diupayakan penyelesaiannya dalam dinamika permusyawaratan yang menjunjung tinggi semangat kebersaman dalam kemaslahatan, keadilan, dan kasih-sayang sesama mereka QS.3:159, QS.42:38.
Dari usaha peningkatan keimanan itu, yang diperoleh dari bertambahnya keyakinan akibat pengalaman empiris yang mereka tempuh bersama Muhammad SAW, para sahabat Radhialloh'anhumma semakin mengenali Allah SWT sebagai Zat Maha Pemurah (Ar Rahman) lagi Maha Penyayang (Ar Rahiim), Tuhan yang mengaruniai belas-kasih dan rasa sayang diantara mereka. Perangai dan tabiat mereka yang sebelumnya keras dan kasar menjadi lemah- lembut karena Allah SWT adalah Al Lathief, Zat Maha Lembut dan Maha Halus. Dalam setiap peperangan yang terjadi mereka merasakan betul pertolongan Allah SWT karena Dia adalah An-Nashier, Zat yang senantiasa memberi pertolongan. Dialah Al Waliy, Zat yang menemani setiap perjuangan mereka. Bilamana mereka mengalami kekalahan akibat keteledoran dan kesalahannya sendiri atau akibat melanggar perintah Nabi SAW, mereka bertobat dan mohon ampun kepada Allah SWT sehingga didapati-Nya oleh mereka sebagai Al Ghoffuur, Zat yang Maha Pengampun lagi sangat menutupi kesalahan hamba-Nya. Taubat mereka yang sungguh-sungguh itu diterima oleh At-Tawwaab, Zat Maha Penerima taubat hamba-Nya, sehingga mereka tidak pernah melakukan dua kali kesalahan yang sama.
Demikian pula ketika mengalami kemenangan dan mendapatkan harta pampasan perang, Para Sahabat RA menerima pembagiannya secara adil berdasarkan ketentuan dari dari Allah SWT dan Rosul-NYa QS.8:1&41 , sehingga setahap demi setahap sampailah mereka pada tingkat keimanan yang mantap. Merekapun semakin menyadari, bahwa kehadiran mereka di muka bumi adalah untuk dijadikan contoh teladan bagi umat manusia sepanjang masa QS.22:78. Karenanya, mereka tidak hanya berlaku adil terhadap sesama kaum mu'minin, bahkan terhadap musuh sekalipun, mereka perlakukan dengan sikap keadilan yang sama sesuai dengan tingkat ketakwaan mereka yang sedemikian tinggi itu.
Wujud keadilan itu tercermin dalam suatu peristiwa ketika terjadi perang tanding / duel antara Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan musuhnya dalam suatu medan pertempuran. Saat itu, Ali RA telah berhasil menguasai keadaan dan bersiap-siap membunuh lawan tandingnya. Namun dalam keadaan yang lemah itu, Sang Musuh tiba-tiba meludahi Ali RA sambil sempat mengucapkan kata-kata kotor kepadanya. Ali RA sejenak tertegun, lalu pedang yang sudah siap diayunkan untuk memenggal kepala musuhnya itu dengan tenang disarungkannya kembali. Ali RA mengurungkan niatnya untuk membunuh musuh yang tak berdaya itu dan bersiap meninggalkan arena.
Sang musuh menjadi heran dan bertanya mengapa ia tak jadi dibunuh. Ali RA menjelaskan bahwa niat pertama ketika akan memenggal kepalanya adalah karena mengharapkan ridho Tuhan, namun setelah diludahi musuh tandingnya, Ali RA tidak jadi membunuh karena khawatir niatnya akan tercemar hawa nafsu amarahnya sendiri. Mendengar penjelasan itu musuhnya menjadi takjub dan akhirnya memeluk Islam atas ijin Allah SWT.
Sekelumit peristiwa itu menunjukkan kepada kita betapa Ali RA dan sahabat-sahabat lainnya telah mengerti betul arti dari keadilan yang sesungguhnya. Mereka tahu bahwa keadilan lebih mendekatkan mereka kepada takwa, walaupun terhadap musuh yang dibencinya. Ali RA telah berlaku adil terhadap dirinya sendiri dengan tetap memelihara niat untuk keridhoan Allah SWT. Jika ia membunuh akibat terdorong oleh hawa-nafsunya maka bagaimana kelak pertanggung-jawabannya dihadapan Al Hakiim (Sang Maha Bijaksana), Zat Yang Maha Adil (Al Adlu) lagi Maha Mengetahui dan Mengkhabarkan yang tersembunyi (Al Khabiir). Padahal Allah SWT telah memerintahkan kepada orang yang beriman untuk menegakkan kebenaran dan keadilan semata karena perintah Allah SWT, bukan karena hawa nafsu. Hal ini adalah supaya mereka lebih dekat kepada takwa QS.5:8.