|
Berbagai Corak Kebijakan Evolusi Manusia
Berbagai bencana alam yang dahsyat pernah terjadi di masa lampau, rupanya sangat mempengaruhi kompleksitas berbagai pesan kebijakan terhadap evolusi ras manusia. Kepercayaan manusia terhadap dewa api unggun lambat laun telah meningkat ke dewa gunung berapi lalu meningkat lagi ke dewa matahari. Kepercayaan terhadap pohon dan batu besar telah beralih lebih maju ke arah Animisme dan Dinamisme yang melembaga, lalu menemukan bentuknya yang 'sempurna' pada kebudayaan-kebudayaan lokal yang sebagian masih berkembang hingga kini.
Rasa hormat dan kagum yang berlebihan terhadap Kepala Suku atau Pembawa Pesan Kebijakan, mereka wujudkan dalam bentuk penyembahan terhadap patung-patung atau berhala-berhala. Kita tidak mengetahui secara pasti apakah berhala-berhala sesembahan mereka itu lebih mirip dengan performa Kepala Suku yang telah mati ribuan tahun lalu, atau justru lebih mirip rivalnya Sang Pembawa Pesan Kebijakan. Yang bisa dipastikan adalah, mereka tetap menginginkan tuhan yang dapat dilihat dengan kedua matanya sendiri. Namun, masing-masing dari kelompok masyarakat purba pun melakukan hal demikian, mereka membuat berbagai tuhan berhala yang disembah dan dijaganya sendiri QS.36:74-75.., lalu mereka berselisih terhadap sejarah/kehebatan berhala mereka masing-masing QS.17:53.., kemudian saling berperang dan menghasilkan penindasan dan perbudakan sesama manusia. Dalam hal ini kita bisa mendapat tambahan perspektif mengenai perbudakan, yakni : Perbudakan antar sesama ras manusia telah terjadi sebagai akibat dari bentuk perbudakan diri manusia terhadap berhala sesembahan mereka sendiri. Semakin besar hubungan perbudakan yang terjadi antar sesama manusia, dapat menunjukkan kepada semakin besar pula hubungan perbudakan diri manusia itu terhadap berhala sesembahan mereka. Karenanya, terdapat suatu hubungan organik yang sangat kuat antara persepsi ras manusia terhadap tuhannya dengan realita kehidupan ras manusia tersebut terhadap sesama mahluk hidup di sekelilingnya. Bila kita menarik garis yang lebih ekstrem dari perspektif mengenai perbudakan ini, mungkin kita akan menemukan kalimat berikut : Semakin rendah kualitas hubungan antara manusia dengan Tuhannya maka akan semakin buruk pula hubungan manusia itu dengan mahluk hidup lain di sekelilingnya. Nabi-Nabi sebagai Pembawa Pesan Kebijakan dari Tuhan Alam Semesta telah diutus kepada semua ras manusia sesuai dengan kadar perkembangan masing-masing, termasuk juga terhadap kelompok ras manusia purba. Selama proses evolusi dimasa itu, umur individual mereka masih jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan umur rata-rata ras manusia sekarang ini QS.29:14.., bahkan ada diantara mereka yang berumur hingga hampir 1.000 tahun lamanya. Nabi Nuh AS (Noah) telah menghabiskan waktu hidupnya selama ratusan tahun hanya untuk menyampaikan Pesan Kebijakan Tuhan agar kelompok saudara-saudara sesama manusia purba-nya tidak lagi menyembah berhala-berhala Wadd, Suwa'a, Yaghuts, Ya'uq, dan Nashr..(..Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa nama-nama berhala yang disembah itu sebelumnya adalah sebagian dari nama-nama anak Adam AS yang ketika hidupnya mereka terkenal sebagai orang yang sangat berbudi baik, sangat taat beragama dan sangat disukai orang-orang disekitarnya..). Patung-patung berhala tersebut hanyalah sekedar peninggalan kebiasaan nenek-moyang mereka pada masa lalu sebagai warisan proses evolusi QS.71:14& 23 generasi sebelumnya. Demikian kira-kira argumentasi yang disampaikan Nuh AS kepada kaumnya. Namun strata menengah dan kalangan atas dari kelompok manusia purba itu tidak mau mendengarkan apa yang disampaikan Nuh AS, mereka membantah dan mengejek Nabi Nuh AS bahwa ia dan pengikutnya yang sedikit itu hanyalah sekedar manusia biasa seperti mereka, bahkan bisa jadi ia adalah seorang pendusta. Maka.., terjadilah perdebatan yang amat panjang itu, kadang secara sembunyi-sembunyi, face to face discussion, QS.71:8-9, kadang pula ditempat terbuka, terang-terangan di muka umum. Pendek kata, kaum purba yang sudah berbusana dan telah memiliki rumah masing-masing dimana Nuh AS tinggal bersama mereka QS.QS.71:7.., telah menentang Tuhannya Nuh AS secara blak-blakan. Mereka tidak menyakini adanya Tuhan Pencipta Alam Semesta Yang Maha Mengatur seluruh proses kehidupan. Akhirnya, mereka semua punah binasa, ditenggelamkan Pencipta proses evolusi alam dalam bentuk banjir besar /air bah yang melanda sebagian besar permukaan bumi. Nuh AS beserta segelintir pengikutnya selamat karena berada dalam perahu besar yang telah dibuatnya. Banjir besar setinggi gunung itu membinasakan semua mahluk bumi yang telah berbuat zhalim. Peristiwa itu terjadi akibat mencairnya pegunungan dataran es secara besar-besaran diiringi hujan lebat massal yang turun berkepanjangan selama beberapa puluh hari lamanya. Oleh karena itu, Tuhan juga mewahyukan kepada Nuh AS agar mengangkut segala hewan secara berpasang-pasangan ke dalam kapal raksasa yang telah dibuatnya itu, sebelum bencana dahsyat itu tiba. Diriwayatkan, setelah 40 hari lamanya banjir besar itupun mulai surut dari seluruh permukaan bumi, sementara sebagian kalangan meriwayatkan setelah 4 bulan lamanya barulah permukaan bumi mampu menyerap seluruh air bah diatasnya. Perahu besar Nabi Nuh AS pun akhirnya kandas, mendarat diatas sebuah bukit Judiy. Demikian hal ini disebutkan dalam AlQur'an QS.11:25-48. Sebagian orang mengatakan bahwa bukit Judiy yang dimaksud adalah merupakan dataran tinggi, yakni daerah pegunungan dekat Armenia. Para Arkheologist dari Turki dan Hongkong juga telah menemukan sebuah fosil berbentuk perahu besar pada ketinggian 4.000 Meter di Gunung Agri atau Gunung Ararat di bagian timur Turki. Walaupun belum 100% yakin terhadap penemuan itu, namun mereka telah mengumpulkan banyak bukti yang meyakinkan mereka bahwa temuan itu memiliki ciri-ciri yang amat dekat dengan perahu besar Nabi Nuh AS, diantaranya.., beberapa specimen yang diteliti memiliki umur karbon sekitar 4.800 tahun, mirip waktunya dengan apa yang telah digambarkan dalam sejarah Noah versi Nashrani. Jauh-jauh hari sebelumnya.., para peneliti dari Rusia, Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya telah pula menemukan timbunan potongan kayu yang satu diantaranya sangatlah unik yang terletak di Lembah Kaat. Setelah memakan waktu penelitian yang cukup lama akhirnya mereka menyimpulkan bahwa potongan-potongan kayu tersebut merupakan bagian dari bahtera Nabi Nuh AS yang terdampar di puncak Gunung Calff (di atas bukit Judiy). Setelah masa yang ditempuh Nuh AS dan para pengikutnya berlalu, muncullah kembali generasi ras manusia berikutnya. Yakni bangsa 'Aad purbakala.., disusul kemudian dengan kaum Tsamud yang tidak begitu jauh jaraknya. Generasi mereka telah menempuh masa yang cukup panjang. Mereka telah mahir membuat istana-istana besar, dan memahat gunung-gunung batu sedemikian rupa menjadi gedung-gedung sebagai tempat tinggal mereka. Namun.., mereka juga menolak Pesan-Pesan Kebijakan Tuhan Alam Semesta yang disampaikan oleh seorang manusia dari komunitas mereka sendiri, yakni Nabi Hud AS dari kaum 'Aad, dan Nabi Shalih AS untuk kaum Tsamud. Dua generasi yang terpisah jarak waktu itu pun akhirnya punah binasa tanpa satu manusia yang ditinggalkan hidup untuk meneruskan keturunannya QS.53:50-51.., kecuali beberapa gelintir manusia yang rela-hati mengikuti petunjuk dari Rosul-Nya. Kita bertanya-tanya, kenapa mereka itu begitu sulit menerima pesan kebijakan yang disampaikan oleh salah seorang manusia dari golongan mereka sendiri. Apakah karena faktor kebodohan, kelemahan, atau.., akibat ketakutan..? Atau, adakah faktor lain yang lebih krusial dan tidak sekedar faktor yang hanya bersifat evolutif..? Saya mengira, jawaban yang lebih tepat untuk pertanyaan tersebut adalah datang dari diri mereka sendiri. Sebab, pertanyaan semacam itu bisa juga ditujukan di jaman kita sekarang ini. Tentu saja, masing-masing pribadi kitalah yang paling tahu jawabannya secara pasti. Sebagai contoh.., andaikan kita sekarang ini hidup di jaman Nabi Nuh AS yang sedang repot bersusah-payah membuat bahtera besar ditengah lapangan luas, ditengah suasana yang terik-panas dan jauh dari tepi sungai maupun pantai. Beratus-ratus tahun lamanya Nuh AS menyampaikan Pesan Kebijakan Tuhan kepada kita yang mungkin saja terasa begitu bosan / menjemukan para pendengarnya, lalu tiba-tiba meminta kita untuk naik memasuki bahteranya..., silahkan coba bayangkanlah apakah kita mau menerima ajakannya..? Kebenaran mutlak yang terkandung dalam Kitab Al Qur'an menyatakan bahwa, generasi manusia yang telah punah pada jaman lampau umumnya terkategori sebagai generasi yang kuat, tangguh dan perkasa. Baik dalam strata ekonomi maupun dalam strata sosial, kekuatan mereka justru menjadi sebab pendorong unsur-unsur pelecehan, penghinaan, dan penganiayaan yang ditimpakan kepada Para Pembawa Pesan-Pesan Kebijakan Tuhan. Merekapun bahkan telah mampu menurunkan 'empirisme dan rasionalisme' dari kakek leluhur hingga ke anak-cucu mereka, yakni cara bertahan hidup menghadapi berbagai perubahan lingkungan alam yang ekstream. Namun, mereka toh akhirnya punah binasa. Kematian generasi manusia itu tidak terjadi secara alami dan wajar, atau tidak sebagaimana adanya kematian biasa yang menghampiri mahluk hidup lainnya. Padahal, pesan-pesan kebijakan yang turut mengalir dalam diri genetika mereka telah menempuh ribuan tahun, bahkan puluhan ribu tahun, (kalau bukan ratusan ribu tahun) sejak nenek-moyang mereka merasakan faedah hangatnya api unggun. Saya kira.., jawaban yang cukup mendekati dari pertanyaan.., mengapa begitu sulitnya menerima Pesan Kebijakan Tuhan, diantara beberapa ayat yang cukup banyak untuk dimuat disini adalah Ayat ke 146 dari Surah Al A'raf, QS.7:146. Berlandaskan kepada Ayat ini, berarti ada hal yang sangat khusus yang senantiasa menyertai setiap proses evolusi ras manusia, yang membuat mahluk jenis ini akan mampu untuk terus-menerus bertahan dari sebab-sebab kepunahannya. Hingga.., akhirnya sampai pada suatu masa dimana segala hal umum yang masih memiliki sifat ruang dan waktu suatu ketika menjadi musnah binasa. Jika dibandingkan dengan jutaan jenis mahluk hidup lain yang kita ketahui hingga saat ini, mahluk hidup jenis Homo Sapiens ini dipastikan akan terus mampu 'menguasai' dunia, walaupun suatu ketika populasinya akan menurun sangat drastis atau mungkin juga sebaliknya. Kemampuan ini bukan semata dipastikan oleh besarnya volume otak yang dimiliki ras manusia saja, melainkan ditentukan juga oleh suatu faktor kesadaran-nurani (conscience) yang mampu menangkap pesan-pesan kebijakan dari luar diri, yakni dari Tuhan Maha Pencipta. Kedua faktor ini akan selalu saling berinteraksi dan menstimulasi antara satu dengan lainnya sehingga memunculkan pesan-pesan kebijakan tertentu yang mewarnai prilaku dan tindakan tertentu yang dilakukannya. Pesan-Pesan Kebijakan yang dibawa oleh Para Nabi (terlepas dari rasa suka ataupun tak suka) sangatlah menarik perhatian manusia, terutama jika ditinjau dari sisi proses evolusi ras manusia itu sendiri. Kita menangkap kesan, seolah-olah Para Nabi itu 'berada' jauh diluar jalur-panjang rel evolusi ras manusia dimasa ketika ia masih hidup. Bahkan, mungkin juga.., dimasa-masa sekarang ini. Kita seolah merasa, Para Nabi itu sering ditempatkan di dua titik kutub yang saling berseberangan. Pada satu titik Para Nabi dianggap sebagai penyebar suatu agama tertentu atau aliran kepercayaan tertentu yang pernah hidup pada masa lalu, sehingga perlu untuk sekedar memikirkan atau memperbincangkannya dalam kesempatan dan waktu yang sangat tertentu. Pada posisi lainnya, Para Nabi itu begitu dihormati sedemikian rupa, sehingga eksistensi kemanusiaannya nyaris melarut sirna tak terkendali QS.9:30. Ekses yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengkutuban paham ini, jika diamati lebih jauh ternyata dapat membawa ras manusia pada satu muara yang sama, yakni kehancuran ras manusia itu sendiri. Titik kutub pertama telah mengantarkan ras manusia, melalui lokomotif 'empirisme'nya, kepada bentuk pemujaan terhadap kemampuan diri pribadi. Yakni suatu ekspresi ekspansivisme dari sisi lain humanisme, memacu ketergesaan sains dan teknologi menuju destruktivisme alam, dan untuk selanjutnya menjumpai ambang kehancuran lingkungan manusia. Titik kutub yang kedua telah membawa ras manusia, melalui bermacam perahu 'dogma', 'kultus', 'fatalisme', 'fanatisme', dan isme-isme lain yang begitu gencar mengobarkan caci-maki dan kebencian diantara sesama ras manusia hingga melahirkan berbagai peperangan dan pembunuhan massal tanpa aturan, atau sekurang-kurangnya menyeret ras manusia untuk terus berkubang dalam berbagai kesesatan yang lambat-laun termangsa putaran roda jaman. Diantara perbedaan besar yang terwakili melalui kedua titik kutub yang saling berseberangan itu, ternyata masih ditemukan lagi perbedaan paham yang saling menyusun dan membentuk suatu konfigurasi baru. Contohnya adalah konsep inkarnasi/penitisan atau penjelmaan (incarnation). Yang paling banyak diketahui umum mengenai hal ini misalnya adalah Tibet, disana dikenal istilah Lhama sebagai titisan/penjelmaan kembali (reincarnasi) Sang Budha atau Lhama-Lhama sebelumnya yang dianggap suci. Pemerintah China tidak menyukai Tibet yang membelot dan menyembunyikan Lhama Tertinggi sebagai pemimpin spiritual negerinya. Demi menarik simpati dunia dan masyarakat Tibet sendiri, China bersikeras mengangkat Lhama baru versi China. Sejak pertengahan abad lalu hingga sekarang, persoalan ini belum juga terselesaikan. Contoh lainnya adalah negeri Jepang. Kaisar dan keturunannya hingga sekarang ini masih sangat kuat dianggap sebagai titisan dewa matahari. Barangkali hal itu telah menjadi bekal utama bagi bangkitnya Chouvinisme-radikal yang sempat menguasai sebagian besar Asia timur dan tenggara sampai ke beberapa pulau di samudra Pasifik hingga akhirnya terhenti setelah untuk pertama kalinya bom nuklir menghancurkan sebagian besar kota Hiroshima dan Nagasaki. Dunia merasa cukup 'beruntung' kiranya, manakala empirisme Sekutu yang dimotori Amerika Serikat akhirnya berhasil melahirkan bom atom yang mampu 'menyelesaikan' Perang Dunia II yang begitu memilukan manusia. Walaupun, sejak saat itu ras manusia selalu diburu-buru PR bahaya ancaman nuklir yang tak kunjung rampung hingga kini. FOTO HIROSHIMA & NAGASAKI & BOM NUKLIR DI PULAU BIKINI Hal yang cukup menarik untuk diamati pada penghujung abad 20 lalu adalah makin maraknya gerakan-gerakan global di beberapa kota besar dunia. Gerakan yang bertumpu pada ekologisme, holistikisme, dan apa yang saat itu populer dengan istilah echophylosophy, nampaknya telah menjadi pesan kebijakan baru yang kemunculannya terjadi sebagai akibat dari proses kesadaran manusia universal terhadap dampak buruk teknologi. Sebagaimana empirisme telah menerangi jaman kegelapan abad pertengahan di Eropa dengan cahaya sains, semenjak itu pula sains telah menjadi tuhan yang mengatur segala pelosok dunia dengan berbagai macam-rupa teknologi. Dan karena memang telah menjadi tabiat ras manusia sejak jaman purba, puncak-puncak kecanggihan teknologi itu mereka rangkum dalam bentuk dewa-dewa hulu ledak nuklir yang kadar-rusak terhadap eksistensi manusia melebihi 1.000 sampai 10.000 kali dari apa yang telah melumatkan seluruh sudut kota Hiroshima dan Nagasaki. Walaupun sekarang ini kita tidak terlalu sering lagi melihat bagaimana ras manusia saling menjaga dan memamerkan berhala-berhala dari besar dan banyaknya rudal-rudal nuklir mereka, namun berita-berita tentang uji coba senjata nuklir yang sesekali masih dilakukan oleh beberapa negara tertentu ditambah dengan issue kerusakan lingkungan di beberapa pelosok bumi nampaknya telah cukup dijadikan dasar oleh para pecinta peradaban baru (New Agers) untuk secara gencar memperjuangkan dan memasyarakatkan gerakan mereka ke seluruh penjuru dunia. Universalitas misi dan paradigma baru yang mereka bawa, yakni kesejajaran manusia dengan lingkungan alam, termasuk didalamnya kaum wanita, dan bukan lagi manusia secara semena-mena mengeksploitasi alam, kiranya perlu mendapat dukungan semua kalangan. Barangkali fenomena ini berawal dari ketertarikan kaum cendekiawan Amerika pasca PD II yang memuji-muji kebijakan orang negro mengenai apa yang dikatakan sebagai earth-consciousness (kesadaran bumi) yakni semacam suatu kebijakan tertentu yang perlu diterapkan kepada segenap mahluk penghuni alam. Contoh konkrit mengenai hal ini adalah apa yang sejak sekitar 50 tahun lalu hingga sekarang ini masih dilakukan oleh Findhorn Foundation, suatu yayasan nirlaba berpusat di Skotlandia United Kingdom, yang telah menjalin kerjasama dengan Persatuan Bangsa-Bangsa dalam usaha pelestarian lingkungan alam dan optimalisasi teknologi ramah lingkungan yang mendukung segala aspek keharmonisan. Saat ini, anggotanya sudah sekitar 15.000 orang dan tersebar di seluruh pelosok dunia... Namun manusia memang selayaknya perlu terus-menerus mengkoreksi gagasan-gagasan yang diproduksinya, sambil sekaligus menjalankan secara hati-hati setiap agenda yang dianggapnya baik itu. Sebagaimana manusia purba yang lambat laun mulai mengerti bahwa api sudah tidak layak disembah, lalu menggantinya dengan patung berhala sebagai tuhan mereka, sedemikian pula orang-orang moderen mulai mengerti betapa dahsyat kerusakan yang terjadi andaikan saling pamer dewa-dewa hulu-ledak nuklir diantara mereka bisa menggiring ras manusia kearah peperangan yang dijamin pasti akan membawa kehancuran bersama. Lalu kita mungkin akan bertanya, tuhan macam mana lagi yang akan diperkenalkan pada awal millenium ketiga ini..? Apakah ia akan bernama Ibu-Pertiwi..? Atau Tuhan Pasita (Para Aktivis Wanita)..? QS.21:21 Agaknya kita sudah tidak perlu lagi mengedepankan kecurigaan dalam menunjukkan sikap kita terhadap sesuatu, apalagi menyisipkan berbagai prasangka buruk yang ikut meramu kehati-hatian kita dalam menilai suatu issue baru. Kita perlu mendudukan atau menempatkan sesuatu sebagaimana adanya. Bentuk kebijakan yang sederhana ini terasa perlu, bahkan bisa jadi penting, terutama bagi mereka yang lebih tertarik dengan skeptisisme murni. Mungkin mereka akan berkata, "Kita tunggu dan amati saja dulu.., ke tuhan manakah lagi penderitaan manusia ini akan kembali dibawa, barangkali tuhan yang baru nanti, bisa lebih memperbaiki kemalangan-kemalangan yang selama ini dengan begitu susah-payah kita ciptakan sendiri..." Sementara itu, para penganjur kewarasan empiris tak jemu-jemunya menyampaikan kepada manusia akan betapa pentingnya suatu kesadaran moralitas-kolektif (moral majority) yang dengan ini diharapkan kesengsaraan semua penghuni bumi yang semakin tua ini bisa segera dikurangi. Namun faktanya.., milyaran manusia yang hidup sekarang ini masih terlalu sibuk dengan keyakinan masing-masing yang saling coba untuk dipertentangkan, yang melulu praktikal mengajarkan tiap kubu untuk mengukuhkan eksistensinya sendiri. Sebagaimana awal dari suatu perjalanan kebijakan evolusi ras manusia, perbedaan kebijakan itu bukan sekedar perbedaan pendapat dalam suatu aturan main yang jelas, melainkan kebanyakan ditafsirkan untuk diaplikasi sebagai perbedaan keinginan untuk saling menghancurkan eksistensi pihak lain... |