|
|
|
Al Fatihah Sebagai Korelasi Antara Dimensi Empirisme Dan Absolutisme
Ketika kita mengatakan Bismillahirrahmaanirrahiim, maka terbukalah seluruh cakrawala pikiran-rasional dan akal-nurani kita bahwa dengan nama/ bersama nama/ didalam nama ALLAH, segenap batasan alam semesta yang baru, terbentuklah secara seketika. Dimulai dengan setitik huruf ba (melambangkan sebuah titik awal ledakan yang berasal dari dimensi kemutlakan, atau mengisyaratkan sumpah dari ALLAH Sang Maha Pencipta) maka terbentuklah dimensi ruang-waktu yang baru.
Bersama nama ALLAH yang Maha Rahmaan (Maha Kasih) segenap alam yang baru terbentuk itu dipenuhi oleh segala sesuatu yang diperlukan untuk menyokong proses pembentukannya, mulai dari partikel terkecil sampai atom paling ringan hingga membentuk matahari dan ratusan milyar bintang lainnya, mulai dari atom terberat sampai pada debu-debu alam semesta hingga membentuk planet-planet dan benda angkasa yang tak terhitung banyaknya.
Yang Maha Rahiim (Maha Sayang) menjadikan segenap alam empiris yang telah terbentuk itu terisi dengan berbagai macam kehidupan dengan segala proses evolusi yang terjadi di dalamnya. Sejak dari sebuah sel bakteri yang membelah diri sampai membentuk alga dan lumut hingga menjadi hutan belantara yang proses evolusinya makan waktu ratusan juta tahun lebih, sejak dari satu sel amoeba yang mulai dikenali pernah hidup di bumi ini sejak 1,5 milyar tahun lalu sampai mengalami mutasi terus-menerus dalm rentang waktu sangat lama hingga memunculkan bangsa dinosourus raksasa yang berbobot lebih dari 50 ton/ individu. Sifat Rahmaan dan Rahiim ini berperan besar menghiasi segenap alam semesta beserta semua mahluk yang hidup didalamnya, agar diketahui bahwa hanya ALLAH sajalah Tuhan yang menciptakan semua itu. Dengan kedua sifat itu pula ALLAH menjadikan segenap mahluk hidup mampu meneruskan keturunan dan beradaptasi dengan lingkungan hidupnya.
Ketika kita mengatakan Alhamdulillaahirobbil 'aalamiin, maka sampailah kita pada pengertian bahwa segala pujian serta sanjungan sebagai sasaran ketakjuban hanyalah milik ALLAH saja. Karena hanya Dialah yang membina dan memelihara segala dimensi alam beserta semua isinya, yang menguji, mendidik, dan membimbing segenap mahluk ciptaan-Nya dalam mengarungi jalur pnjang rel evolusi hingga sampai pada suatu derajat yang sempurna. Tingkat kesempurnaan itu telah mencapai puncaknya dengan kehadiran Para Nabi di tengah-tengah ras manusia, mereka mendapat didikan atau tarbiyah langsung dari ALLAH SWT sebagai Zat Tunggal yang membina evolusi bumi beserta isinya (Rabbil Ardh), yang memelihara kelangsungan hidup ras manusia (Rabbin Naas), yang membina dan mengatur ruang angkasa beserta isinya (Rabbussamawaati), yang menguji semuanya itu dari singgasana-Nya yang suci (Rabbul 'Arsy). Maka terpujilah ALLAH sebagai satu-satunya Tuhan semesta alam. Tidak satu apapun berhak mendapat pujian seperti Dia.
Selanjutnya, dengan sifat Ar Rahmaan (Maha Kasih/ Maha Pemurah), keperluan semua mahluk hidup disediakan-Nya. Sistem rantai maknan, jaring-jaring kehidupan, siklus alam, bahkan bencana alam sekalipun, kesemuanya itu menjadikan proses kehidupan ini terus berlangsung dan berkembang sampai batas waktu yang ditentukan-Nya. Sifat Rahmaan ini diinformasikan begitu gamblang dan terang dalam QS.55:01-78. Sifat Rahiim (Maha Penyayang/ Maha Mencintai) diberikan oleh ALLAH sebagian dibumi ini, sebagian besar lainnya dipersiapkan Tuhan untuk kehidupan kekal di negeri surga. Untuk mencapainya ketika melakukan perjalanan panjang ke negeri akhirat nanti, maka diturunkan AlQur'an oleh Al 'Aziizirrahiim, Zat Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang sebagai pedoman bagi manusia di alam empiris ini. Ketika kita mengatakan Arrahmaanirrahiim, maka lengkaplah segala nikmat yang telah diberikan ALLAH kepada semua mahluk dialam semesta ini. Baik yang bersifat rahmaan maupun bersifat rahiim, semua nikmat itu merupakan ujian yang kelak akan dipertanggung-jawabkan dihadapan ALLAH SWT di akhir masa nanti.
Oleh karena itu, ayat Maaliki yaumiddiin, mengandung semua pengertian mengenai segala jenis hukumj yang terjadi pada seluruh isi alam semesta. Apapun jenis mahluk dan bagaimanapun pelik permasalahan yang telah terjadi sebelumnya, segala sesuatunya itu akan terurai, terselesaikan, dan terbalaskan secara adil dan tuntas, hingga tidak ada satu relatifitas apapun yang tersisa.
Di hari itulah segala sesuatunya terseleksi menuju dimensi kemutlakan, sesuai dengan kadar yang telah dicapai oleh masing-masing individu. Yang menyelenggarakan hal itu adalah ALLAH SWT, Zat yang dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya segala sesuatu akan kembali. Dialah Raja Yang Menguasai Hari Pembalasan, segala jenis hukum dan kekuasaan terpusat kepada-Nya pada hari itu. Segala bentuk relatifitas yang telah diserahkan ALLAH kepada manusia dimasa sebelumnya, pada hari pembalasan sudah tidak berlaku lagi. Di hari itu semua mahluk meyakini betul akan kebenaran-kesalahan hasil usaha serta nasib yang akan menimpa dirinya masing-masing.
Ayat selanjutnya, Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin, sesungguhnya merupakan karunia yang tak ternilai harganya yang telah disampaikn kepada manusia. Dia menganugrahkan suatu pengertian kepada kita, bahwa segala aktivitas yang bersumber pada rasionalitas-pikiran dn akal-nurani manusia tidak bisa tidak melainkan pasti akan menuju kepada-Nya. Bukankah semua yang melata dibumi maupun yang di ruang-angkasa mau tak mau tunduk sujud kepada-Nya QS.13:15, QS.16:49.
Bahkan, seluruh jagat raya dengan segala isinya bertasbih memuji-Nya dengan caranya masing-masing QS.17:44, karena semua akan dihadapkan kepada Tuhan yang memperhitungkannya satu persatu QS.19:93-95...
Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi ras manusia kecuali mengakui bahwa hanya kepada ALLAH saja manusia menyembah, menghambakan diri, mengabdikan semua aktivitas hidupnya, baik yang bersumber dari rasionalitas-pikir maupun dari segi spiritualitasnya. Semua aktivitas kebaikan itu tidak mungkin terwujud tanpa pertolongan dari ALLAH, terutama bila kita menyadari bahwa kemampuan untuk taat dan patuh (taufiq) hanya ada akibat dari pertolongan ALLAH saja (wamaa taufiqii illa billaahi, QS.11:88). Ikrar untuk beraktivitas kebajikan/ibadah dan ber-isti'anah/mohon pertolongan hanya kepada ALLAH merupakan implikasi bersujudnya seluruh isi alam semesata kepada Sang Pencipta.
Hal mana, bagi manusia diperlukan cara yang telah ditetapkan oleh syara', disamping juga dituntut unsur keikhlasan dalam aplikasinya. Penjabaran demikian mengantarkan kita pada pengertian bahwa, makna ayat Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin tidak akan pernah kehabisan makna untuk digali bermacam pengertiannya, sebab ia menampung makna yang terus-menerus bergulir. Dengan kata lain, makna yang satu melengkapi makna yang lain hingga demikian sebaliknya. Ketika kita mengatakan, hanya Engkaulah yang kami sembah, maka hal itu mustahil terwujud tanpa pertolongan ALLAH, sebagaimana ketika kita mengatakan, hanya Engkaulah tempat kami mohon pertolongan, maka pertolongan ALLAH sulit terwujud tanpa kita beribadah hanya kepada-Nya saja. Saling keterkaitan ini mengingatkan kita pada interaksi antara kerja dan doa, antara kejernihan rasionalitas- pikiran dengan kesadaran akal-nurani, atau pertautan empirisme dengan absolutisme yang menyatu dalam konsep jiwa-abadi.
Ayat selanjutnya, Ihdinash-shiraathal mustaqiim, menunjukkan keteguhan kerja rasionalitas-pikir yang terus-menerus dan dan tekad bathin yang tak pernah berhenti dalam usaha manusia untuk senantiasa kembali ke jalan yang lurus.... Secara empiris bermakna kelestarin dan keserasian kerja alam semesta beserta segala isinya, termasuk ras manusia yang ada didalamnya. Mulai dari atom yang membentuk gugusan molekul perancang DNA pada sel sperma, sampai dimasukkannya jiwa kedalam janin yang terus mengiringi hingga jadi manusia dewasa. Dengan jiwa itu manusia menggunakan segenap potensi dalam dirinya untuk memahami dan memanfatkan semua isi alam semesta, hingga mengantarkannya pada kesadaran bahwa jiwa yang tertanam dalam tubuh yang fana suatu ketika akan dipetik oleh penanamnya.
Tentu saja, manakala telah datang saat pemetikan / kematian itu, diharapkan kondisi jiwa manusia telah masak sempurna, sehingga akan dapat kembali kepada Tuhannya dengan segala kemanisan suka-cita.... Secara absolut bermakna kekekalan, bahwa segala bentuk relatifitas-empiris itu pada akhirnya akan sampai juga ke terminal keabadian. Dalam hal ini, Shiraath Al Mustaqiim merupakan sarana sekaligus ujian yang menghubungkan segala puncak empirisme menuju dimensi kekekalan abadi. Oleh karenanya, menjadi sangat logis bagi manusia untuk senantiasa memohon kepada Tuhannya agar selalu ditunjuki ke Jalan Yang Lurus, karena secara absolut jalan yang lurus itu hanya akan dilalui dalam dimensi menuju negeri akhirat.
Dengan kata lain, siapa saja dari kita yang tidak mau meyakini adanya negeri akhirat setelah sampai kepadanya segala data dan keterangan yang nyata, berarti sudah menyimpang dari jalan yang lurus QS.23:74. Namun begitu.., tidak satupun dari kita yang berhak atas klaim bahwa dirinya telah secara pasti senantiasa berada pada jalan yang lurus itu, mengingat sifat dimensi relatifitas-empiris yang melingkupi semua bentuk kehidupan di bumi ini dan bumi-bumi lainnya.
Keterkecualian atas klaim tersebut hanya berlaku atas diri Para Nabi dan Rasul QS.36:3-4, sebab hanya melalui merekalah kita akhirnya mengenal ALLAH sebagai Tuhan yang kita sembah QS.36:61. Melalui Para Nabi itulah kita diberi petunjuk kepada jalan yang lurus QS.42:53
Ayat selanjutnya menjelaskan secara ringkas mengenai hal ihwal daripada jalan yang lurus ini, Shiraathalladziina an'amta 'alaihim, yaitu jalan orang orang yang telah Engkau beri nikmat. Ghoiril maghdhuubi 'alaihim wa ladh-dhoolliin, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat. Pengertian mengenai orang-orang yang telah diberi nikmat oleh ALLAH adalah merupakan jaminan mutlak / absolut, bahwa keberadaan mereka yang pernah hadir secara empiris di bumi ini adalah memang benar-benar telah berada pada jalan yang lurus.
Mereka itulah Para Nabi dan Rasul, sejak Adam AS sampai Nuh AS hingga generasi terakhir Ibrahim AS yakni Muhammad SAW, merekalah yang telah membimbing ras manusia untuk menempuh jalur panjang rel evolusi sejak pertama kali ras manusia tercipta hingga mengantarkannya pada terminal akhir menuju keabadian disisi-Nya. Dan sebagaimana telah dijabarkn sebelumnya, bahwa keberadaan surga-neraka buknlah didasarkan pada imajinasi manusia, melainkan lebih merupakan konsekuensi logis dari fenomena siklus alam semesta, maka demi kepentingan obyektif ini, menjadi sangat pantaslah bagi ras manusia untuk senantiasa meningkatkan iman dan amal kebaikannya, mempertajam nurani dan mengasah teru rasionalitas-pikirannya, agar setiap diri mempunyai harapan untuk dapat mengikuti jalan Nabinya.
Hak yang melekat pada setiap individu ini dalam sisi lain merupakan kewajiban yang penting untuk disampaikan bagi sesamanya, bukan semata ditujukan demi kepentingan lingkungan luarnya saja, melainkan terutama agar harapan itu dapat terus terjaga dalam diri tiap orang yang menyampaikannya.
Sebaliknya, bagi mereka yang telah mengetahui kebenaran Shiraathal Mustaqiim dari Nabinya, yang secara universal memuat makna keseluruhan proses kerja terbentuknya alam semesta beserta isi dan aturannya hingga akhir kehancurannya, bahkan sampai mengantar manusia ke terminal keabadian dengan segala konsekuensinya.., namun kemudian mengingkari dan memusuhi kebenaran obyektif itu, maka mereka itulah golongan orang-orang yng mendapat murka dari Yang Maha Pencipta.
Demikian pula dengan keberadaan orang-orang yang sesat, mereka tidak mengetahui kebenaran obyektif dari jalan yang lurus itu, atau mereka mengetahuinya secara samar dengan cara menduga-duga tanpa disertai dalil atau bukti yang menguatkan keyakinannya. Sehingga.., setiap pola pikir dan tindakan yang dihasilkannya semakin mengarah kepada kemungkaran, kerusakan, dan kehancuran. Sangat berbeda dengan orang-orang yang menggunakan pikiran maupun akal untuk meningkatkan keyakinan dan mengokohkan imannya, mereka senantiasa berdoa kepada Tuhannya agar terhindar dari kesesatan, walaupun mereka telah mendapatkan petunjuk Tuhan QS.3:08, karena mereka tahu bahwa Tuhan mampu berbuat apa saja sesuai yang dikehendaki-Nya.
Demikianlah sekelumit rangkuman dari penjabaran Surah Al Fatihah berkenaan dengan korelasi antara empirisme dan absolutisme, berkaitan dengan fenomena yang terjadi pada proses terbentuk dan hancurnya alam semesta. Dari uraian ayat-ayatnya kita melihat adanya hubungan yang kuat antara fakta-fakta yang bersifat empiris dengan bukti-bukti absolut yang menampung semua pertanyaan dan persoalan rasionalitas dan nurani ras manusia. Dalam hal ini kita makin dapat menyadari, bahwa makna Surah Al Fatihah secara keseluruhan merupakan rangkuman dari semua isi AlQur'an.
Dan sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, semua makna dalam AlQur'an merupakan rangkuman dari suatu momentum kehancuran-terciptanya kembali batasan alam semesta. Sebagaimana pula, proses sedemikian itu telah terangkum dalam Lauhul Mahfudzh, disisi keabadian Ilmu ALLAH yang sangat tinggi derajatnya.
Semua ini bukanlah sekedar suatu konsep yang sedang dan akan kita hadapi, melainkan merupakan aturan alam yang telah berlaku semenjak dulu kala..., jauh-jauh hari sebelum galaksi kita tercipta, QS.65:12. Bahkan, akan terus berlaku walaupun galaksi kita telah musnah binasa QS.21:104...
FOTO TAMBAHAN TERCIPTANYA GALAKSI BARU
Bersama nama ALLAH yang Maha Rahmaan (Maha Kasih) segenap alam yang baru terbentuk itu dipenuhi oleh segala sesuatu yang diperlukan untuk menyokong proses pembentukannya, mulai dari partikel terkecil sampai atom paling ringan hingga membentuk matahari dan ratusan milyar bintang lainnya, mulai dari atom terberat sampai pada debu-debu alam semesta hingga membentuk planet-planet dan benda angkasa yang tak terhitung banyaknya.
Yang Maha Rahiim (Maha Sayang) menjadikan segenap alam empiris yang telah terbentuk itu terisi dengan berbagai macam kehidupan dengan segala proses evolusi yang terjadi di dalamnya. Sejak dari sebuah sel bakteri yang membelah diri sampai membentuk alga dan lumut hingga menjadi hutan belantara yang proses evolusinya makan waktu ratusan juta tahun lebih, sejak dari satu sel amoeba yang mulai dikenali pernah hidup di bumi ini sejak 1,5 milyar tahun lalu sampai mengalami mutasi terus-menerus dalm rentang waktu sangat lama hingga memunculkan bangsa dinosourus raksasa yang berbobot lebih dari 50 ton/ individu. Sifat Rahmaan dan Rahiim ini berperan besar menghiasi segenap alam semesta beserta semua mahluk yang hidup didalamnya, agar diketahui bahwa hanya ALLAH sajalah Tuhan yang menciptakan semua itu. Dengan kedua sifat itu pula ALLAH menjadikan segenap mahluk hidup mampu meneruskan keturunan dan beradaptasi dengan lingkungan hidupnya.
Ketika kita mengatakan Alhamdulillaahirobbil 'aalamiin, maka sampailah kita pada pengertian bahwa segala pujian serta sanjungan sebagai sasaran ketakjuban hanyalah milik ALLAH saja. Karena hanya Dialah yang membina dan memelihara segala dimensi alam beserta semua isinya, yang menguji, mendidik, dan membimbing segenap mahluk ciptaan-Nya dalam mengarungi jalur pnjang rel evolusi hingga sampai pada suatu derajat yang sempurna. Tingkat kesempurnaan itu telah mencapai puncaknya dengan kehadiran Para Nabi di tengah-tengah ras manusia, mereka mendapat didikan atau tarbiyah langsung dari ALLAH SWT sebagai Zat Tunggal yang membina evolusi bumi beserta isinya (Rabbil Ardh), yang memelihara kelangsungan hidup ras manusia (Rabbin Naas), yang membina dan mengatur ruang angkasa beserta isinya (Rabbussamawaati), yang menguji semuanya itu dari singgasana-Nya yang suci (Rabbul 'Arsy). Maka terpujilah ALLAH sebagai satu-satunya Tuhan semesta alam. Tidak satu apapun berhak mendapat pujian seperti Dia.
Selanjutnya, dengan sifat Ar Rahmaan (Maha Kasih/ Maha Pemurah), keperluan semua mahluk hidup disediakan-Nya. Sistem rantai maknan, jaring-jaring kehidupan, siklus alam, bahkan bencana alam sekalipun, kesemuanya itu menjadikan proses kehidupan ini terus berlangsung dan berkembang sampai batas waktu yang ditentukan-Nya. Sifat Rahmaan ini diinformasikan begitu gamblang dan terang dalam QS.55:01-78. Sifat Rahiim (Maha Penyayang/ Maha Mencintai) diberikan oleh ALLAH sebagian dibumi ini, sebagian besar lainnya dipersiapkan Tuhan untuk kehidupan kekal di negeri surga. Untuk mencapainya ketika melakukan perjalanan panjang ke negeri akhirat nanti, maka diturunkan AlQur'an oleh Al 'Aziizirrahiim, Zat Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang sebagai pedoman bagi manusia di alam empiris ini. Ketika kita mengatakan Arrahmaanirrahiim, maka lengkaplah segala nikmat yang telah diberikan ALLAH kepada semua mahluk dialam semesta ini. Baik yang bersifat rahmaan maupun bersifat rahiim, semua nikmat itu merupakan ujian yang kelak akan dipertanggung-jawabkan dihadapan ALLAH SWT di akhir masa nanti.
Oleh karena itu, ayat Maaliki yaumiddiin, mengandung semua pengertian mengenai segala jenis hukumj yang terjadi pada seluruh isi alam semesta. Apapun jenis mahluk dan bagaimanapun pelik permasalahan yang telah terjadi sebelumnya, segala sesuatunya itu akan terurai, terselesaikan, dan terbalaskan secara adil dan tuntas, hingga tidak ada satu relatifitas apapun yang tersisa.
Di hari itulah segala sesuatunya terseleksi menuju dimensi kemutlakan, sesuai dengan kadar yang telah dicapai oleh masing-masing individu. Yang menyelenggarakan hal itu adalah ALLAH SWT, Zat yang dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya segala sesuatu akan kembali. Dialah Raja Yang Menguasai Hari Pembalasan, segala jenis hukum dan kekuasaan terpusat kepada-Nya pada hari itu. Segala bentuk relatifitas yang telah diserahkan ALLAH kepada manusia dimasa sebelumnya, pada hari pembalasan sudah tidak berlaku lagi. Di hari itu semua mahluk meyakini betul akan kebenaran-kesalahan hasil usaha serta nasib yang akan menimpa dirinya masing-masing.
Ayat selanjutnya, Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin, sesungguhnya merupakan karunia yang tak ternilai harganya yang telah disampaikn kepada manusia. Dia menganugrahkan suatu pengertian kepada kita, bahwa segala aktivitas yang bersumber pada rasionalitas-pikiran dn akal-nurani manusia tidak bisa tidak melainkan pasti akan menuju kepada-Nya. Bukankah semua yang melata dibumi maupun yang di ruang-angkasa mau tak mau tunduk sujud kepada-Nya QS.13:15, QS.16:49.
Bahkan, seluruh jagat raya dengan segala isinya bertasbih memuji-Nya dengan caranya masing-masing QS.17:44, karena semua akan dihadapkan kepada Tuhan yang memperhitungkannya satu persatu QS.19:93-95...
Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi ras manusia kecuali mengakui bahwa hanya kepada ALLAH saja manusia menyembah, menghambakan diri, mengabdikan semua aktivitas hidupnya, baik yang bersumber dari rasionalitas-pikir maupun dari segi spiritualitasnya. Semua aktivitas kebaikan itu tidak mungkin terwujud tanpa pertolongan dari ALLAH, terutama bila kita menyadari bahwa kemampuan untuk taat dan patuh (taufiq) hanya ada akibat dari pertolongan ALLAH saja (wamaa taufiqii illa billaahi, QS.11:88). Ikrar untuk beraktivitas kebajikan/ibadah dan ber-isti'anah/mohon pertolongan hanya kepada ALLAH merupakan implikasi bersujudnya seluruh isi alam semesata kepada Sang Pencipta.
Hal mana, bagi manusia diperlukan cara yang telah ditetapkan oleh syara', disamping juga dituntut unsur keikhlasan dalam aplikasinya. Penjabaran demikian mengantarkan kita pada pengertian bahwa, makna ayat Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin tidak akan pernah kehabisan makna untuk digali bermacam pengertiannya, sebab ia menampung makna yang terus-menerus bergulir. Dengan kata lain, makna yang satu melengkapi makna yang lain hingga demikian sebaliknya. Ketika kita mengatakan, hanya Engkaulah yang kami sembah, maka hal itu mustahil terwujud tanpa pertolongan ALLAH, sebagaimana ketika kita mengatakan, hanya Engkaulah tempat kami mohon pertolongan, maka pertolongan ALLAH sulit terwujud tanpa kita beribadah hanya kepada-Nya saja. Saling keterkaitan ini mengingatkan kita pada interaksi antara kerja dan doa, antara kejernihan rasionalitas- pikiran dengan kesadaran akal-nurani, atau pertautan empirisme dengan absolutisme yang menyatu dalam konsep jiwa-abadi.
Ayat selanjutnya, Ihdinash-shiraathal mustaqiim, menunjukkan keteguhan kerja rasionalitas-pikir yang terus-menerus dan dan tekad bathin yang tak pernah berhenti dalam usaha manusia untuk senantiasa kembali ke jalan yang lurus.... Secara empiris bermakna kelestarin dan keserasian kerja alam semesta beserta segala isinya, termasuk ras manusia yang ada didalamnya. Mulai dari atom yang membentuk gugusan molekul perancang DNA pada sel sperma, sampai dimasukkannya jiwa kedalam janin yang terus mengiringi hingga jadi manusia dewasa. Dengan jiwa itu manusia menggunakan segenap potensi dalam dirinya untuk memahami dan memanfatkan semua isi alam semesta, hingga mengantarkannya pada kesadaran bahwa jiwa yang tertanam dalam tubuh yang fana suatu ketika akan dipetik oleh penanamnya.
Tentu saja, manakala telah datang saat pemetikan / kematian itu, diharapkan kondisi jiwa manusia telah masak sempurna, sehingga akan dapat kembali kepada Tuhannya dengan segala kemanisan suka-cita.... Secara absolut bermakna kekekalan, bahwa segala bentuk relatifitas-empiris itu pada akhirnya akan sampai juga ke terminal keabadian. Dalam hal ini, Shiraath Al Mustaqiim merupakan sarana sekaligus ujian yang menghubungkan segala puncak empirisme menuju dimensi kekekalan abadi. Oleh karenanya, menjadi sangat logis bagi manusia untuk senantiasa memohon kepada Tuhannya agar selalu ditunjuki ke Jalan Yang Lurus, karena secara absolut jalan yang lurus itu hanya akan dilalui dalam dimensi menuju negeri akhirat.
Dengan kata lain, siapa saja dari kita yang tidak mau meyakini adanya negeri akhirat setelah sampai kepadanya segala data dan keterangan yang nyata, berarti sudah menyimpang dari jalan yang lurus QS.23:74. Namun begitu.., tidak satupun dari kita yang berhak atas klaim bahwa dirinya telah secara pasti senantiasa berada pada jalan yang lurus itu, mengingat sifat dimensi relatifitas-empiris yang melingkupi semua bentuk kehidupan di bumi ini dan bumi-bumi lainnya.
Keterkecualian atas klaim tersebut hanya berlaku atas diri Para Nabi dan Rasul QS.36:3-4, sebab hanya melalui merekalah kita akhirnya mengenal ALLAH sebagai Tuhan yang kita sembah QS.36:61. Melalui Para Nabi itulah kita diberi petunjuk kepada jalan yang lurus QS.42:53
Ayat selanjutnya menjelaskan secara ringkas mengenai hal ihwal daripada jalan yang lurus ini, Shiraathalladziina an'amta 'alaihim, yaitu jalan orang orang yang telah Engkau beri nikmat. Ghoiril maghdhuubi 'alaihim wa ladh-dhoolliin, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat. Pengertian mengenai orang-orang yang telah diberi nikmat oleh ALLAH adalah merupakan jaminan mutlak / absolut, bahwa keberadaan mereka yang pernah hadir secara empiris di bumi ini adalah memang benar-benar telah berada pada jalan yang lurus.
Mereka itulah Para Nabi dan Rasul, sejak Adam AS sampai Nuh AS hingga generasi terakhir Ibrahim AS yakni Muhammad SAW, merekalah yang telah membimbing ras manusia untuk menempuh jalur panjang rel evolusi sejak pertama kali ras manusia tercipta hingga mengantarkannya pada terminal akhir menuju keabadian disisi-Nya. Dan sebagaimana telah dijabarkn sebelumnya, bahwa keberadaan surga-neraka buknlah didasarkan pada imajinasi manusia, melainkan lebih merupakan konsekuensi logis dari fenomena siklus alam semesta, maka demi kepentingan obyektif ini, menjadi sangat pantaslah bagi ras manusia untuk senantiasa meningkatkan iman dan amal kebaikannya, mempertajam nurani dan mengasah teru rasionalitas-pikirannya, agar setiap diri mempunyai harapan untuk dapat mengikuti jalan Nabinya.
Hak yang melekat pada setiap individu ini dalam sisi lain merupakan kewajiban yang penting untuk disampaikan bagi sesamanya, bukan semata ditujukan demi kepentingan lingkungan luarnya saja, melainkan terutama agar harapan itu dapat terus terjaga dalam diri tiap orang yang menyampaikannya.
Sebaliknya, bagi mereka yang telah mengetahui kebenaran Shiraathal Mustaqiim dari Nabinya, yang secara universal memuat makna keseluruhan proses kerja terbentuknya alam semesta beserta isi dan aturannya hingga akhir kehancurannya, bahkan sampai mengantar manusia ke terminal keabadian dengan segala konsekuensinya.., namun kemudian mengingkari dan memusuhi kebenaran obyektif itu, maka mereka itulah golongan orang-orang yng mendapat murka dari Yang Maha Pencipta.
Demikian pula dengan keberadaan orang-orang yang sesat, mereka tidak mengetahui kebenaran obyektif dari jalan yang lurus itu, atau mereka mengetahuinya secara samar dengan cara menduga-duga tanpa disertai dalil atau bukti yang menguatkan keyakinannya. Sehingga.., setiap pola pikir dan tindakan yang dihasilkannya semakin mengarah kepada kemungkaran, kerusakan, dan kehancuran. Sangat berbeda dengan orang-orang yang menggunakan pikiran maupun akal untuk meningkatkan keyakinan dan mengokohkan imannya, mereka senantiasa berdoa kepada Tuhannya agar terhindar dari kesesatan, walaupun mereka telah mendapatkan petunjuk Tuhan QS.3:08, karena mereka tahu bahwa Tuhan mampu berbuat apa saja sesuai yang dikehendaki-Nya.
Demikianlah sekelumit rangkuman dari penjabaran Surah Al Fatihah berkenaan dengan korelasi antara empirisme dan absolutisme, berkaitan dengan fenomena yang terjadi pada proses terbentuk dan hancurnya alam semesta. Dari uraian ayat-ayatnya kita melihat adanya hubungan yang kuat antara fakta-fakta yang bersifat empiris dengan bukti-bukti absolut yang menampung semua pertanyaan dan persoalan rasionalitas dan nurani ras manusia. Dalam hal ini kita makin dapat menyadari, bahwa makna Surah Al Fatihah secara keseluruhan merupakan rangkuman dari semua isi AlQur'an.
Dan sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, semua makna dalam AlQur'an merupakan rangkuman dari suatu momentum kehancuran-terciptanya kembali batasan alam semesta. Sebagaimana pula, proses sedemikian itu telah terangkum dalam Lauhul Mahfudzh, disisi keabadian Ilmu ALLAH yang sangat tinggi derajatnya.
Semua ini bukanlah sekedar suatu konsep yang sedang dan akan kita hadapi, melainkan merupakan aturan alam yang telah berlaku semenjak dulu kala..., jauh-jauh hari sebelum galaksi kita tercipta, QS.65:12. Bahkan, akan terus berlaku walaupun galaksi kita telah musnah binasa QS.21:104...
FOTO TAMBAHAN TERCIPTANYA GALAKSI BARU
Berdasarkan kepada pemahaman tersebut diatas, maka sudah selayaknya bila orang-orang yang telah diberikan nikmat dan petunjuk oleh ALLAH SWT akan menangis dan tiarap sujud apabila dibacakan ayat-ayat dari Tuhannya QS.19:58. Mereka itulah yang telah diberi pengetahuan yang sempurna mengenai keseluruhan makna AlQur'an dalam hubungannya dengan prosesi penciptaan alam semesta beserta segala isinya. Mereka mengetahui bahwa janji Tuhan itu pasti akan dilaksanakan, oleh karenanya mereka tiarap sujud dan menangis, sebab AlQur'an itu makin menambah kekhusyu'an dalam dada mereka qs.17:107-109.
Bagaimanakah halnya dengan kita, apakah generasi kita saat ini bisa mencapai tingkat pengetahuan sebagaimana telah dikaruniakan kepada Para Nabi..? Mengapakah tidak ada Nabi atau Rasul lain setelah Muhammad SAW..? Lalu, bagaimana keadaan generasi kita di masa depan, apakah nasib mereka lebih baik atau malah menjadi makin buruk dibandingkan masa sekarang ..? Apa perlunya pertanyaan-pertanyan semacam itu dikemukakan dalam konteks pembahasan ini, dimanakah letak relevansinya ?
Relevansi dari semua pertanyaan tersebut ada dalam konsep dan realita suatu potret manusia moderen yang akan kita bahas sebagian permasalahannya, setelah kita tuntaskan beberapa hal yng belum terkait secara utuh dalam sub bab ini. Yang dimaksud adalah soal Mi'raj Nabi SAW, mengapa dikatakan sebagai konsekuensi logis dari suatu kebijakan evolusi bangsa manusia di alam semesta.
Kemudian, barangkali akan dapat dimunculkan jawaban dari pertanyaan, mengapa tidak akan ada Nabi atau Rasul setelah Baginda Muhammad SAW. Setelah itu kita akan memasuki ruang bahasan yang dimuati oleh pertanyaan yang berbau prediktif dan bersifat relatif-spekulatif itu.
Bagaimanakah halnya dengan kita, apakah generasi kita saat ini bisa mencapai tingkat pengetahuan sebagaimana telah dikaruniakan kepada Para Nabi..? Mengapakah tidak ada Nabi atau Rasul lain setelah Muhammad SAW..? Lalu, bagaimana keadaan generasi kita di masa depan, apakah nasib mereka lebih baik atau malah menjadi makin buruk dibandingkan masa sekarang ..? Apa perlunya pertanyaan-pertanyan semacam itu dikemukakan dalam konteks pembahasan ini, dimanakah letak relevansinya ?
Relevansi dari semua pertanyaan tersebut ada dalam konsep dan realita suatu potret manusia moderen yang akan kita bahas sebagian permasalahannya, setelah kita tuntaskan beberapa hal yng belum terkait secara utuh dalam sub bab ini. Yang dimaksud adalah soal Mi'raj Nabi SAW, mengapa dikatakan sebagai konsekuensi logis dari suatu kebijakan evolusi bangsa manusia di alam semesta.
Kemudian, barangkali akan dapat dimunculkan jawaban dari pertanyaan, mengapa tidak akan ada Nabi atau Rasul setelah Baginda Muhammad SAW. Setelah itu kita akan memasuki ruang bahasan yang dimuati oleh pertanyaan yang berbau prediktif dan bersifat relatif-spekulatif itu.