|
|
|
MANFAAT TAKWA, TANTANGAN, DAN KENDALA NYA
Berbagai Manfaat Takwa
Berdasar pada pembahasan sebelumnya, kita dapat menarik pengertian bahwa takwa dapat diraih dengan usaha menegakkan keadilan dan kebenaran, sebagaimana hal demikian akan lebih mudah terwujud manakala ada upaya peningkatan iman. Sebagimana diketahui sebelumnya, bahwa peningkatan iman akan terjadi bila didahului dengan usaha untuk memurnikan iman. pemurnian iman bertujuan untuk mereduksi faktor kemunafikan yang senantiasa berusaha mengkontaminasikannya. Bila faktor kemunafikan dibiarkan menyebar sampai menyebar menjadi kemusyrikan yang merata, maka dapat dipastikan berbagai bentuk kebangkrutan dan bermacam bencana akan menimpa ras manusia.
Sebaliknya, dengan berbekal takwa itulah maka keadilan dan kebenaran dijamin pasti dapat terwujud di seluruh muka bumi. Perlu ditegaskan, jaminan itu tidak berasal dari siapapun, melainkan diberikan langsung oleh Dzat Maha Adil yang menciptakan dan mengembang-biakkan ras manusia di muka bumi ini, bukan di Pluto atau di Merkurius. Dialah Allah SWT yang membangun dan meninggikan langit dengan hukum-hukum keseimbangan berdasarkan neraca keadilan, agar ras manusia dapat mencontoh, menyelidiki, dan menerapkannya dalam bidang sains dan teknologi, mengimplementasikan neraca keadilan dalam hukum perdata, pidana, maupun jual -beli.QS.55 :7-9. Dengan berbekal takwa, orang-orang beriman dapat menegakkan keadilan dengan sesungguhnya bahkan mungkin dapat membebani dirinya, keluarga, maupun kerabatnya. Bahkan, dapat menghilangkan penyakit korupsi, sogok-suap dan sumpah palsu dalam sistem pengadilan QS.4: 135.
Dengan berbekal takwa, dua kelompok negara mu'min yang tengah berperang atau bertengkar dapat segera didamaikan dan diselesaikan permasalahannya secara adil, karena mereka sesungguhnya adalah saudara QS.49 :9-10. Hal ini dapat mendorong terwujudnya kemnbali Khilafah Islami yang didambakan oleh umat, sehingga dapat membebaskan mereka dari keterbelengguan dan ketak-berdayaan menuju ke kemerdekaan hakiki untuk menegakkan keadilan dan kebenaran QS.16: 76.
Maka, bekal apa lagi yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan hidup bersama di dunia ini dan kebahagiaan hakiki di Akhirat nanti kecuali dengan bekal takwa? Bukankah takwa merupakan indikator yang jelas untuk membedakan nilai-nilai yang universal benar dari nilai yang salah QS.8: 29 ? Oleh karenanya mereka beriman diselenggarakan untuk bertakwa demi kesuksesan hari depan QS.59: 18. Ketakwaan mereka diharapkan mampu menghasilkan ucapan yang benar, sehingga mampu bergabung dengan mereka yang benar QS.33: 70, QS.9: 119.
Namun demikian, karena berhubungan dengan tingkat keimanan sseorang dimana hal ini terkait erat dengan kemampuan berpikir optimal dan kemauan untuk mengakui kebenaran, maka bertakwa adalah perintah Tuhan SWT yang disesuaikan dengan tingkat keanggupan masing-masing QS.64: 16. Artinya, bertakwa mengandung makna proses perbaikan kualitas diri yang tidak pernah mengenal kata henti QS.5: 93. Bahkan, keteguhan dan kesungguhan untuk terus meningkatkan proses perbaikan kualitas diri hanya bisa dihentikan oleh kematian QS.3: 102, dimana tidak ada satu mahluk pun mampu menghindarinya.
Dari berbagai pengertian ini maka semestinya manusia semakin menyadari, bahwa tidak ada cara lain untuk memperbaiki berbagai kerusakan dan kebangkrutan, tidak ada cara lain yang lebih terukur dan langgeng dalam upaya menekan dan mengobati penyakit sosial masyarakat, dan tidak ada cara lain pula yang dapat menjamin cita -cita kesejahteraan dan kemajuan hidup bersama di muka bumi ini kecuali dengan satu kata yang dapat merangkum berbagai persepsi solusi terhadap semua permasalahan itu, yakni dengan bertakwa.
--oO0Oo--
Tantangan Dan Kendala Takwa
Sebagaimana diketahui, definisi umum dari kata takwa adalah, mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Tentu, definisi demikian akan terasa cukup berat sedangkan persepsi tentang tanggung-jawab itu dibebankan kepada setiap individu secara rigid / kaku. Mengingat bahwa semua perintah dan larangan itu terangkum dalam Al Qur'an, maka tanggung-jawab itu hanya dipercayakan untuk orang-orang yang mengimaninya.
Orang-orang mu'minin itulah yang memiliki keyakinan kuat, kecerdasan spiritual, dan ketangkasan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan kepada takwa. Mereka tidak pernah ragu dengan semua isi Al Qur'an, tidak mudah terombang-ambing dengan kebanyakan pendapat orang di muka- bumi, karena mereka meyakini Kalimat Tuhan Semesta telah sempurna mengambil kebenaran dan keadilan. Tidak ada yang sanggup mengubah Kalimat Tuhan QS.6 :114-116.
Kendalanya barangkali adalah, apakah uraian tersebut hanya sebatas berupa ajaran yang hanya bisa dibanggakan tapi sangat sulit untuk direalisasikan ..? Atau .., apakah ajaran dari Pencipta Alam Semesta itu hanya berfungsi sebagai penyejuk hati ditengah makin beringas dan maraknya beragam kekacauan di sana-sini ..? Atau sebaliknya, apakah jika hal itu diberlakukan secara resmi maka akan berdampak pada kemandegan kreatifitas manusia atau bahkan dapat melumpuhkan demokratisasi dan membelenggu hak Azazi ..?.
Berbagai pertanyaan bernada klasik dan terkesan dicari-cari ini tampaknya memang pernah merebak lama dan gaungnya pun masih terdengar sampai sekarang. Tentu, pertanyaan tersebut dan berbagai pertanyan serupa tidak terjadi atau tidak match jika ditujukan kepada mereka yang bertakwa dan terus berusaha meningkatkan ketakwaannnya, karena Al Qur'an yang tidak diragukan kebenarannya itu telah menjadi petunjuk bagi permasalahan kehidupan mereka QS.2: 2, QS. 3:138.
Namun demikian, kiranya perlu bagi kita untuk sedikit menganalisis latar-belakang dan sebab-akibat dari pertanyan itu agar dapat diketahui sejauh mana hubungan nilai-nilai transendental yang bersifat absolut dapat diterjemahkn secara konkrit dalam rasionalitas empiris yang membelenggu kehidupan ras manusia. Mungkin .., kita bisa berharap mendapatkan beberapa alternatif solusi, dimana nanti bisa dibandingkan solusi mana yang paling sedikit berdampak buruk bagi kemajuan budaya dan peradaban ras manusia.
Mari kita mulai dengan pertanyan pertama ..: Apakah ajaran Tuhan tentang Iman dan Takwa hanya bisa dibanggakan (dan disampaikan pada saat-saat peribadatan tertentu saja) namun sangat sulit untuk direalisasikan dalam kehidupan nyata ..? Pertanyaan ini agaknya mengandung hikmah yang begitu luas dan berarti cukup dalam, namun karena faktor keterbatasan pengetahuan dan thema, maka disini hanya bisa dikupas seperlunya.
Kita harus awali jawaban dari pertanyaan tersebut dengan beberapa perumpamaan sebagai berikut. Bahwa, berdasarkan rasionalitas manusia, bumi yang kita huni sekarang ini membutuhkan waktu sekitar 4 milyar tahun lamanya untuk siap menerima kehadiran mahluk hidup yang pertama kali berkesempatan mendiaminya, yakni sejenis alga dan amuba...
Sejenis mamalia mirip ras manusia yang hadir pertama kali di bumi ini baru sekitar 2 juta tahun yang lalu, tampaknya seperti "anak baru kemarin sore" yang singgah di alam dunia untuk kemudian bersiap pergi melanjutkan perjalanan evolutif mereka.
Ras dinosaurus dari ras reptil yng pernah menguasai bumi lebih dari 150 juta tahun lamanya (Era Mesozoic, 230 s / d 63 juta tahun lalu) kini telah telah punah-binasa dan mewariskan segala prilaku hidup mereka kepada ras manusia yang telah, sedang, dan masih terus memanfaatkan ekstrak bangkai-bangkai mereka.
Ras manusia menggunakan kelimpahan energi fosil itu untuk menyalurkan hasrat sebagai ras baru penguasa bumi, hasrat untuk membangun dan menghancurkan, dan hasrat untuk terus melestarikan maupun untuk membuat kerusakan. Membangun gedung pencakar langit barangkali membutuhkan waktu berbulan-bulan, namun meratakannya dengan tanah mungkin hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Artinya adalah, mewujudkan suatu cita-cita yang cermat, penuh keberkahan dan bernilai mulia, nyatanya membutuhkan proses waktu dan kerja yang jauh lebih lama dibandingkan dengan sekedar untuk merusak dan membinasakannya.
Demikian pula dengan upaya untuk mewujudkan suatu pedoman dari Tuhan Pencipta seluruh alam semesta beserta segenap isinya, Zat Maha Besar (Al Kabiir) yang telah merencanakan jagat semesta raya ini jauh-jauh hari (milyaran tahun lalu) dibanding dengan 'sekedar' penciptaan ras manusia QS .40:57. Hal ini tentunya memerlukan kesungguhan luar-biasa yang terus-menerus, disertai pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan dana, serta berbagai sumber daya lainnya yang tak sedikit.
Apalagi upaya realisasi itu dilakukan oleh manusia namun sekaligus juga untuk kepentingan manusia, maka untuk kepentingan ini diperlukanlah berbagai aturan yang bersifat komprehensif dan mampu mencakup semua permasalahan yang dialami ras manusia agar dapat terus terpelihara ras kemanusiaannya. Allah SWT sebagai Zat Pemelihara (Al Wakiil) seluruh isi alam semesta memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada-Nya melalui Kitab-Kitab Suci yang diturunkan melalui para Nabi-NYa. Bilamana mereka mengingkari maka hal itu hanya akan merugikan ras manusia itu sendiri.
Bila Tuhan menghendaki, niscaya hancur-Nya ras manusia di bumi ini lalu didatangkan-Nya mahluk jenis baru sebagai pengganti. Hal ini sangat mudah terjadi karena Dia Mahakuasa terhadap apa yang dikehendaki-Nya QS.4 :131-133. QS.14: 19 -20. QS.35 :16-17. Ras manusia sebagai produk paling mutakhir di bumi ini diyakini memiliki peran dan potensi paling besar dalam upaya pelestarian maupun kehancurannya, termasuk ancaman terhadap kehancuran ras manusia itu sendiri. Tidak ada musuh yang paling membahayakan ras manusia kecuali manusia itu sendiri. Tapi yang lebih esensial adalah tidak ada musuh yang paling jelas dan tetap selalu memerangi manusia kecuali setan beserta bala-tentaranya QS.36: 60, yang terdiri atas bangsa jin dan manusia QS.114 :4-6.
Meskipun proses penciptaan ras manusia dapat dianggap kurang dari 1% jika dibandingkan dengan keseluruhan proses waktu yang telah ditempuh selama pembentukan bumi, namun keberadaannya kini dapat secara seketika menghancurkan semua unsur kehidupan yang telah berlangsung milyaran tahun lamanya ini. Kenapa ya .., ras manusia koq bisa sangat begitu membahayakan .......?
Hal ini terjadi bisa diakibatkan oleh minimal 2 faktor. Pertama adalah, ras manusia adalah satu-satunya mahluk di muka-bumi ini yang mampu menyerap semua unsur yang pernah diproduksi bumi, bahkan yang mampu memproduksi unsur-unsur baru dari padanya, misalnya plutonium. Logika sederhananya berbunyi, siapa yang mampu menyerap segalanya tentu juga mampu menghancurkan semuanya.
Faktor yang kedua adalah, manusia adalah ras mahluk di muka-bumi yang memiliki dua kecenderungan ekstrim dalam dirinya. Kecenderungan terhadap kebaikan dan kebenaran yang merepresentasi sifat malaikat maupun kecenderungan terhadap keburukan dan kecurangan yang merepresentasi sifat setan, di dalamnya terkandung unsur ketaatan dn pembangkangan terhadap kehendak Tuhan Maha Pencipta. Penggabungan terhadap kedua faktor dengan kecenderungan sifat negatif itulah yang mampu melahirkan daya rusak yang sangat luar-biasa.
Bila mau, manusia bisa menggunduli hutan belantara dan menenggelamkan 1 atau 2 pulau dalam waktu yang singkat. Namun prilaku destruktif secara massal tidak mudah terjadi sebagaimana hendak membalik telapak tangan. Kecuali, unsur-unsur malaikat telah sirna dari sisi kehidupan banyak manusia.
Dengan kata lain, hal demikian akan terjadi bila kebanyakan ras manusia telah diperbudak setan dan jin karena memperturutkan hawa nafsunya. Bila kondisi buruk itu terjadi, sebagaimana pernah terjadi pada berbagai jaman kegelapan di masa lalu, maka barangkali di masa depan akan ditemukan suatu populasi manusia yang begitu sedikitnya, berada di tempat-tempat terpencil yang menyedihkan dan saling menjauh, hanya ditemani oleh keremangan cuaca berkabut dan mimpi buruk radiasi yang tak pernah tahu kapan akan berakhir.
Atau dapat juga menjelma dalam sisi buruk yang lain, yakni suatu populasi manusia yang tumbuh begitu fantastis dan berkembang pesat pada hampir semua muka bumi, dimana faktor akhlak / ethical dan moral telah begitu asing atau bahkan terlupakan sama-sekali. Akibat terlalu penuhnya persoalan sosial dan begitu beratnya persaingan hidup, ditambah dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin menganga membuat berbagai aturan dan hukum yang terus-menerus diproduksi manusia justru semakin membuat korupsi, kolusi dan berbagai bentuk tirani bertambah makin meraja-lela. Hukum rimba dalam segala aspek akan menjadi satu- satunya hukum yang tak bisa terhindarkan lagi.
Kedua gambaran buruk yang menimpa peradaban manusia ini bisa terjadi dalam kenyataan yang lebih mencengangkan, sedangkan ras manusia telah banyak saling memangsa sesamanya. Apakah .., berarti khiasan atau harfiah, keduanya merupakan tragedi gelap suatu peradaban yang dalam terminologi agama dikenal sebagai neraka kehidupan dunia.
Kita pernah mendapatkan beberapa bukti dari berbagai jenis fosil yang ditemukan, bahwa bangsa reptil yang sebelumnya lemah dan kecil itu .., akibat berjalannya waktu selama jutaan tahun membuat mereka mampu berevolusi hingga menghasilkan hewan-hewan buas raksasa yang sebagian besar saling memangsa satu dengan lainnya... Atau bahkan jauh-jauh hari sebelum waktu berkuasanya bangsa reptil itu, yakni pada periode Devonian sekitar 405 s / d 345 juta tahun yang lalu, dimana bumi masih dikuasai oleh bangsa ikan. Sebagian besar dari mereka berevolusi dari berbagai bentuk invertebrata yang lemah sampai menjadi bermacam hiu raksasa dan aneka jenis ikan buas lainnya, dimana akhirnya mereka saling memangsa dan sebagian besar dari mereka kini telah menemukan kepunahannya.
Mengingat Surah Annisa ayat 131-133 diatas, maka apakah ras manusia akan mengalami nasib yang sama ..? Kita sungguh tidak mengetahui, apa jenisnya dan bagaimana cara-kerja setan dalam proses kehancuran bangsa dinosaurus, ras ikan buas, atau ras jenis mahluk hidup lainnya di masa lalu. Tapi kita tahu dalam terminologi agama bahwa bangsa setan telah diciptakan Tuhan jauh-jauh hari sebelum ras manusia muncul di bumi ini QS.15: 27. QS.18: 51.
Barangkali, senjata yang dibanggakan setan sebelum terciptanya ras manusia adalah berupa, kerakusan, keserakahan, dan egoisme untuk mencapai tubuh besar dan bertaring tajam, atau atribut kuno lainnya yang diperlukan demi tercapainya kesempurnaan suatu hukum rimba. Namun setelah Adam AS diciptakan dan setan dikutuk Tuhan karena merasa lebih bangga dengan asal-muasal dan potensi dirinya, maka setan harus melengkapi senjatanya dengan keterampilan tipu-muslihat, bujuk-rayu menyesatkan, dan janji-janji muluk yang melenakan kesadaran nurani. Sehingga, setan berhasil menyiasati Adam-Hawa untuk mendurhakai Tuhan.
Alhasil, Adam-Hawa diturunkan dari surga dan umat manusia pun sebagian memusuhi bagian lainnya dengan berbekal sejata setan yang memang sengaja dipersiapkan untuk mengadu-domba dan menyesatkan ras manusia QS.7: 24. QS.2: 36. QS.20: 123. Maka kita pun merasakan dan saling menjadi saksi pembantaian antar sesama manusia, terus-menerus terjadi sepanjang waktu dan di setiap jaman.
Agar gambaran buruk tentang gelapnya masa depan peradaban manusia tidak menjelma menjadi kenyataan getir yang lebih tak terbayangkan lagi ngerinya, akibat begitu banyak manusia telah diperbudak setan karena memperturutkan hawa nafsunya, maka realisasi ajaran Tuhan untuk sungguh bertakwa merupakan perintah yang sangat penting dan urgent, demi tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan diantara ras manusia secara adil dan merata. Bukankah pakaian takwa lebih baik bagi seorang mu'min walau dibandingkan dengan perhiasan yang paling indah sekalipun ..? Justru dengan bekal takwa, ras manusia dapat terhindar dari perangkap setan sebagaimana pernah berhasil dilakukannya ketika mengeluarkan Adam-Hawa dari tempat penuh kesejahteraan di surga QS.7 :26-27.
Demi memelihara kelestarian ras manusia dan sekaligus mempertahankan nilai-nilai kemanusiaannya itulah Tuhan Allah menurunkan Kitab-Kitab Suci serta mengajarkan iman dan takwa melalui para Nabi dan Rosul-Nya. Dengan kehadiran para utusan Allah itulah ras manusia dapat kembali melanjutkan peradaban dan mengembangkan kebudayaannya.
Puncak peradaban yang pernah dicapai ras manusia dalam kaitannya dengan realisasi ajaran Iman dan Takwa, dimana dalam masyarakatnya pernah terwujud ketinggian akhlak / ethical dan moral yang menghiasi sistem keadilan yang disenangi semua kalangan, dan kesejahteraan yang merata sampai ke level anggota masyarakat paling rendah, hingga tidak ditemukan penyakit sosial yang sempat tumbuh dalam komunitas itu, bahkan .., yang keberadaannya menjamin kedamaian dan ketentraman banyak negara di sekelilingnya, semua kelebihan itu / termasuk kelebihan lain yang tak terbayangkan baiknya, benar-benar pernah terjadi dan tercatat secara authentic dalam sejarah dunia.
Puncak peradaban yang dimaksud tidak lain adalah sistem sosial masyarakat yang dibangun oleh Nabi SAW bersama Para Sahabatnya di Madinah ..., menarik untuk direnungkan bahwa, yang digunakan oleh Nabi SAW adalah istilah 'Sahabat', bukan pejabat, bukan murid, bukan pengikut, bukan pula istilah lain yang bertentangan dengan semangat kebersamaan. Hal ini sesuai dengan standar penilaian Tuhan Allah SWT bahwa semua ras manusia dari bangsa manapun juga, dinilai sama kedudukannya kecuali yang paling tinggi tingkat ketakwaannya diantara mereka.
Puncak peradaban itu pada jaman Khulafa Rasyidin dikembangkan ke negara-negara tetangga di Afrika-Utara, sebagian Eropa, bahkan hingga bagian tengah benua Asia hingga Cina. Puncak peradaban yang dimaksud mengandung arti, bahwa semua anggota masyarakat terlibat secara aktif, bebas mengemukakan pendapat dan terbuka dalam mewujudkan segala bentuk kebaikan paling tinggi yang pernah dicapai ras manusia. Karenanya, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Abu Hurairah RA berkata: Rosulullah SAW bersabda, jalan masuk di kota Madinah dijaga para malaikat, karenanya tidak dapat dimasuki oleh penyakit menular ataupun para penipu / Dajjal .. ". Juga dikatakan oleh Sa'ad RA bahwa Rosulullah SAW bersabda, Siapa yang berbuat makar / kejahatan terhadap penduduk Madinah, niscaya akan hancur seperti hancurnya garam terkena air. HR. Bukhori.
Hal demikian merupakan bukti yang menunjukkan bahwa keimanan dan ketakwaan mereka telah mampu mengantarkan suatu golongan manusia menjadi umat terbaik yang pernah muncul diantara ras manusia lainnya QS.3: 110. Tentu saja .., kinerja abadi yang diakui berbagai cendekiawan seluruh dunia itu tidak terjadi begitu saja semudah orang membalik telapak tangan. Namun sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hal itu membutuhkan kesungguhan yang terus-menerus disertai pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dana dan sumber daya lain yang tak sedikit. Dan semua itu hanya bisa diupayakan dengan bekal Iman dan Takwa. Dengan bekal Iman dan Takwa, ras manusia akan lebih mudah berbuat kebajikan / kebaikan di muka bumi ini, dan memiliki kekuatan untuk memberantas dan mencegah kemungkaran ...
"Kamulah Umat Terbaik yang muncul ditengah ras manusia .., kamu memerintahkan berbuat makruf / kebajikan, dan mencegah tindakan mungkar / kesewenangan dan beriman kepada Allah .., sekiranya Ahli Kitab beriman, niscaya hal itu baik bagi mereka .., namun sebagian dari mereka beriman dan kebanyakan lainnya berbuat fasik .. " QS.3: 110
Maka .., tentang pertanyaan apakah ajaran Iman-Takwa hanya bisa dibanggakan namun sangat sulit untuk direalisasikan nampaknya bisa menjadi konklusi bahwa, justru karena hanya bisa dibanggakan maka realisasi ajaran itu menjadi begitu sulit untuk diwujudkan secara konkret dan optimal. Bahkan pada taraf tertentu, kebanggaan justru dapat menjadi faktor penghambat utama, kalau bukan sebagai halangan terpenting yang membuat semakin sulitnya ajaran itu dapat diterapkan secara menyeluruh ditengah-tengah umat manusia.
Bukankah akibat faktor kebanggaan / merasa diri lebih baik / ujub sehingga Iblis menemui kutukannya dan dihukum sesat oleh Tuhan Semesta Alam ..? Bukankah bangsa setan itu kemudian senantiasa berusaha menyesatkan dan membinasakan bangsa manusia ..? Dan .., bukankah hanya dengan bekal takwa maka manusia bisa terlepas dari perangkapnya ..?
Jadi, tampaknya tidak ada hubungan sinergis antara rasa bangga dengan sikap takwa. Justru sebaliknya, hubungan itu bisa saling meniadakan atau sekurangnya saling meredusir antara satu dengan lainnya. Sebagaimana hubungan antara sifat kemunafikan dengan keimanan yang satu sama lainnya saling bertolak-bertentangan. Maka akan menjadi relevan kiranya bila pertanyaan pertama tadi menjadi berubah bunyi: Apakah faktor kebangaan justru dapat menyulitkan upaya realisasi ajaran takwa ...? Jawabannya adalah: Ya, sampai batas tertentu faktor kebanggaan dapat menghambat upaya realisasi ajaran takwa, sebagaimna uraian tersebut diatas.
Bukankah kita bangga bahwa Al Qur'an adalah Kitab Suci yang sempurna isinya, dan kebanggaan itu justru melalaikan kita untuk mendalami isi dan menggali kemaslahatan penemuan-penemuan baru dari padanya ..? Bukankah kita bangga bahwa Muhammad SAW adalah manusia terbaik yang diciptakan Tuhan dibanding semua mahluk yang pernah dan akan hadir di bumi ini, begitu bangganya sampai kita berusaha mengkultuskannya dengan berbagai cara namun lalai menerapkan apa saja yang justru telah menjadi esensi ajarannya .., Kita marah bila Muhammad SAW dihina, namun kita menolak untuk meniru akhlak Beliau SAW yang begitu mulia.
Kita bangga bahwa kita adalah umat muslim terbesar di dunia yang memiliki ilmu tentang ketuhanan yang paling sempurna dan tak terbantahkan ajaran manapun juga, tapi kita tak mampu memimpin peradaban diatas muka bumi ... Bahkan .., terhadap nasib kesejahteraan umat manusia di negeri sendiri. Kita bangga dengan segala atribut dari tanah Arabia atau secara berseberangan bahkan lebih bangga dengan tradisi luhur bangsa sendiri, namun nyatanya kita sering berada dalam posisi sebagai santapan lezat atau sekurangnya sebagai alat mainan bangsa lain.
Meskipun begitu, kita masih 'beruntung' karena banyak para cendekiawan dan kaum intelektual telah berhasil meraih gelar pendidikan dari negara-negara barat yang maju dan moderen, sehingga kebanggaan ini malah semakin memperparah kerusakan moral dan ahlak bangsa akibat berbagai ekses negatif lain yang ikut terbawa justru ternyata menelan cost yang sangat mahal harganya, baik ditinjau dari segi material maupun secara spiritual.
Bahkan .., sementara kita terus berusaha mengumpulkan berbagai kebanggaan di sekitar kita, maka yang akan semakin nampak adalah awal dari musibah yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari rangkaian musibah sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai kita benar-benar sadar bahwa kebanggaan sebenarnya bukanlah milik kita. Kebanggaan hanyalah milik Tuhan Allah, Sang Maha Tunggal yang 'dicuri' setan untuk kemudian dijejalkan secara halus namun penuh semangat ke dalam diri ras manusia.
Yang lebih membahayakan dari faktor kebanggaan adalah bila ia telah bersemayam kuat dalam diri para pemimpin bangsa, termasuk para calon pemimpin serta sistem yang mewujudkannya. Secara bertahap namun pasti, faktor ini akan menggiring masyarakat ke dalam suatu kompetisi jabatan / posisi yng sangat tidak sehat, tidak fair, dan berarti meratakan jalan bagi kebobrokan sistem yang semakin korup akibat habitasi sistem telah menumbuhkan beragam jenis sogok, suap, dan biaya siluman lain secara nyaris 'melembaga'.
Akibat lain dari kebanggaan yang telah bersemayam kuat dalam dada adalah: kesewenangan dalam menetapkan keputusan publik, penyalah-gunaan jabatan / posisi untuk kepentingan pribadi / golongan dimana akhirnya akan menimbulkan kecemburuan sosial-ekonomi bukan hanya pada level masyarakat, tapi juga pada level partai dan antar departemen, termasuk antar unsur-unsur yang menjadi pilar negara. Tentu saja, semua kebangkrutan dan kerusakan sistem keadilan ini bukanlah merupakan kesalahan para penyelenggara negara maupun segelintir orang yang menikmati sari dari segenap kekayaan negeri .., meskipuun .., masyarakat miskin dan sederhana yng menjadi bagian paling besar di negeri itu akan sangat serempak membantahnya.
Dari terus-menerus mengumpulkan berbagai bentuk keburukan yang ada sambil menyesali nasib suatu negeri yang tak kunjung memberi harapan, atau bahkan .., sampai lelah menyerapah namun tak kunjung pula bisa diperbaiki .., yang lebih mudah dan lebih baik dari hal itu tampaknya adalah berupaya kembali kepada ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun sementara orang mengatakan bahwa tindakan ini sekedar merupakan kompensasi terhadap penderitaan sosial-ekonomi yang sedang dihadapi, setidaknya ia dapat berfungsi sebagai penyejuk hati ditengah makin beringas dan maraknya kekacauan sistem yang sedang terjadi. Fungsi ini bisa efektif terutama bagi golongan masyarakat lemah dan tertindas, sementara terhadap kaum kebalikannya, fungsi itu dapat digunakan sebagai sarana yang 'cukup aman' untuk mencuci dosa atau menebus kesalahan yang barangkali tidak mampu diketahui secara pasti.
Namun demikian, alangkah naifnya manusia bila memberi fungsi kepada ajaran Tuhan Sang Pencipta hanya sebatas pada dataran penyejuk hati. Secara individu tentu memberi manfaat yang sangat berarti, karena memang demikianlah ketetapan yang telah digariskan Tuhan Allah SWT dalam QS.13: 28. Secara sosial, fungsi itu harus mewujud dalam tindakan pertobatan, pemantapan iman, dan peningkatan amal saleh, sebagaimana tertuang dalam ayat tersebut, sebelum dan sesudahnya. Bilamana hal itu tidak terwujud dalam masyarakat, maka "anak-kembar" dari senjata setan yang lain yakni lengah dan lalai, akan menguasai lingkungan kesadaran nurani dan pola pikir manusia sampai kembali mengantarkannya ke jurang bencana dan musibah baru. Sikap bangga yang kemudian melahirkan kelengahan dan kelalaian adalah senjata setan yang sangat ampuh untuk melumpuhkan manusia dari kemajuan peradabannya ..,
Kita harus benar-benar melawannya sekuat mungkin atas nama pencipta manusia dan atas nama kemanusiaan itu sendiri. Kita harus memperlakukan musuh sebagaimana adanya musuh QS.35: 6. Bila kita tidak melakukannya niscaya setan akan mensubversi iman manusia secara tak terasa, namun sekaligus berinfiltrasi menyarangkan senjata-senjata purbanya secara gradual dan bergradasi. Mungkin diawali dengan subjektivisme, lalu egoisme, tamakisme, kemudian bengisisme, tiranisme, hingga barangkali sampai ke puncak-puncak kerusakan semacam terorisme, dan sebagainya. Tentu .., diperlukan thema khusus dan orang-orang yang punya keahlian khusus untuk memilah-milah dan mendefinisi aneka paham dan ideologi versi satanisme ini agar ras manusia dapat secara tangkas mewaspadainya.
"Sesungguhnya setan itu adalah musuhmu .., maka perlakukanlah ia sebagaimana engkau memperlakukan musuh ... Sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang meyala-nyala .." QS.35: 6
Yang akan ditekankan dalam hal ini adalah, bahwa setan dengan segala sifatnya yang sangat merugikan dan membahayakan eksistensi ras manusia memang sungguh-sungguh benar adanya. Dalam kerangka empirisme merupakan suatu jenis mahluk yang telah menempuh proses evolusi jauh lebih lama dibanding ras mamalia, apalagi manusia. Jadi pembahasan tentang setan dengan segala sifatnya bukanlah sekedar diskusi tentang agama / dogma dalam arti tradisional-budaya yang telah ditempuh ras manusia.
Namun lebih dari pengertian itu, pembahasan mengenai hal ini mengandung makna yang dapat menjabarkan atau sekurangnya menampung suatu proses mengenai kebijakan evolusi yang telah dan akan terus terjadi di kolong jagat semesta raya ini. Dalam kaitan inilah maka pembicaraan tentang peradaban ras manusia tidak mungkin dapat dipisahkan dari faktor-faktor yang dapat memusnahkannya maupun faktor-faktor yang dapat mendukung dan melestarikannya.
Faktor-faktor yang dapat menghancurkan peradaban ras manusia, sebagaimana dibahas sebelumnya, terutama sekali berasal dari ras manusia itu sendiri. Yang lebih esensial adalah bersumber dari segala sesuatu yang berhubungan dengan sikap pembangkangan terhadap kebijakan evolusi yang telah ditetapkan Sang Maha Pencipta. Pembahasan lebih detail dan serius tentang hal ini akan kita temukan dalam bab IV nanti.
Sekarang kita kembali ke pertanyan kedua: Apakah ajaran dari Pencipta Alam Semesta itu hanya berfungsi sebagai sarana penyejuk hati ..? Tadi telah sedikit dikemukakan bahwa ia dapat difungsikan demikian, meskipun .., mengingat betapa besarnya potensi yang terkandung dalam diri ras manusia, fungsi ajaran itu tentunya tidak hanya berhenti sampai sebatas itu. Ras manusia membutuhkan banyak upaya lain yang lebih konkret dan sistematis untuk menghasilkan manfaat yang optimal dari ajaran itu. Yakni, bagaimana menciptakan suatu peradaban ras manusia yang bisa menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan secara menyeluruh di alam empiris ini dan di alam akhirat nanti.
Upaya konkret dan sistematis itu sendiri bukanlah bersumber dari paham-paham atau ideologi sektoral dan temporal yang berdasarkan pengalaman spesifik suatu bangsa manusia tertentu, nyatanya begitu banyak menyesakkan dada atau bahkan memperkosa nurani dan akal manusia, misalnya semacam dogmatisme radikal sampai atheisme moderen. Bukan pula yang begitu menggebu menyesatkan peradaban menuju lingkaran setan yang justru semakin memperbudak nilai-nilai kemanusiaan, dan membuatnya hidup dalam keterasingan. Yang mewakili hal ini barangkali adalah post-industrialisme yang memicu empirisme radikal, atau paham-paham eksperimental ekstrim lainnya.
Kita tidak menyangkal bahwa sebagian besar dari paham yang disebut itu telah banyak mewarnai kemajuan peradaban dan kesejahteraan sebagian manusia hingga kini. Namun kita juga tidak bisa menutup mata, kecuali jika hati kita telah buta atau mengalami musibah kematian nurani, bahwa dampak-dampak negatif yang dihasilkannya justru ternyata jauh lebih besar dari yang sebelumnya kita kira. Ini terjadi karena kemajuan-kemajuan empiris yang telah dicapai itu masih berputar-putar atau senantiasa bergelut pada berbagai permasalahan yang cara penyelesaiannya melulu disandarkan pada kemampuan berpikir secara rasional saja.
Padahal kita tahu, tidak satupun manusia di kolong langit ini tahu secara pasti tentang hal apa saja yang akan terjadi esok hari. Meskipun, berkenaan dengan itu ras manusia menjadi begitu tertantang untuk menganalisa, memprediksi, memprediksi, sampai menduga-duga apa saja yang bisa dijadikan dasar untuk melandasi gerak kemajuannya di hari-hari mendatang.
Memang karena hal inilah prinsip-prinsip dasar suatu dinamika masyarakat dapat berkembang sebagaimana kaidah-kaidah peradaban menemukan pertumbuhannya. Namun persoalannya adalah ketidak-mampuan manusia dalam mengkalkulasi secara akurat dampak negatif apa saja yang mungkin timbul akibat diterapkannya suatu paham atau ideologi tertentu, bahkan .., termasuk yang hanya sekedar sebuah tindakan sepele atau keputusan konyol belaka.
.............
Berbagai Manfaat Takwa
Berdasar pada pembahasan sebelumnya, kita dapat menarik pengertian bahwa takwa dapat diraih dengan usaha menegakkan keadilan dan kebenaran, sebagaimana hal demikian akan lebih mudah terwujud manakala ada upaya peningkatan iman. Sebagimana diketahui sebelumnya, bahwa peningkatan iman akan terjadi bila didahului dengan usaha untuk memurnikan iman. pemurnian iman bertujuan untuk mereduksi faktor kemunafikan yang senantiasa berusaha mengkontaminasikannya. Bila faktor kemunafikan dibiarkan menyebar sampai menyebar menjadi kemusyrikan yang merata, maka dapat dipastikan berbagai bentuk kebangkrutan dan bermacam bencana akan menimpa ras manusia.
Sebaliknya, dengan berbekal takwa itulah maka keadilan dan kebenaran dijamin pasti dapat terwujud di seluruh muka bumi. Perlu ditegaskan, jaminan itu tidak berasal dari siapapun, melainkan diberikan langsung oleh Dzat Maha Adil yang menciptakan dan mengembang-biakkan ras manusia di muka bumi ini, bukan di Pluto atau di Merkurius. Dialah Allah SWT yang membangun dan meninggikan langit dengan hukum-hukum keseimbangan berdasarkan neraca keadilan, agar ras manusia dapat mencontoh, menyelidiki, dan menerapkannya dalam bidang sains dan teknologi, mengimplementasikan neraca keadilan dalam hukum perdata, pidana, maupun jual -beli.QS.55 :7-9. Dengan berbekal takwa, orang-orang beriman dapat menegakkan keadilan dengan sesungguhnya bahkan mungkin dapat membebani dirinya, keluarga, maupun kerabatnya. Bahkan, dapat menghilangkan penyakit korupsi, sogok-suap dan sumpah palsu dalam sistem pengadilan QS.4: 135.
Dengan berbekal takwa, dua kelompok negara mu'min yang tengah berperang atau bertengkar dapat segera didamaikan dan diselesaikan permasalahannya secara adil, karena mereka sesungguhnya adalah saudara QS.49 :9-10. Hal ini dapat mendorong terwujudnya kemnbali Khilafah Islami yang didambakan oleh umat, sehingga dapat membebaskan mereka dari keterbelengguan dan ketak-berdayaan menuju ke kemerdekaan hakiki untuk menegakkan keadilan dan kebenaran QS.16: 76.
Maka, bekal apa lagi yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan hidup bersama di dunia ini dan kebahagiaan hakiki di Akhirat nanti kecuali dengan bekal takwa? Bukankah takwa merupakan indikator yang jelas untuk membedakan nilai-nilai yang universal benar dari nilai yang salah QS.8: 29 ? Oleh karenanya mereka beriman diselenggarakan untuk bertakwa demi kesuksesan hari depan QS.59: 18. Ketakwaan mereka diharapkan mampu menghasilkan ucapan yang benar, sehingga mampu bergabung dengan mereka yang benar QS.33: 70, QS.9: 119.
Namun demikian, karena berhubungan dengan tingkat keimanan sseorang dimana hal ini terkait erat dengan kemampuan berpikir optimal dan kemauan untuk mengakui kebenaran, maka bertakwa adalah perintah Tuhan SWT yang disesuaikan dengan tingkat keanggupan masing-masing QS.64: 16. Artinya, bertakwa mengandung makna proses perbaikan kualitas diri yang tidak pernah mengenal kata henti QS.5: 93. Bahkan, keteguhan dan kesungguhan untuk terus meningkatkan proses perbaikan kualitas diri hanya bisa dihentikan oleh kematian QS.3: 102, dimana tidak ada satu mahluk pun mampu menghindarinya.
Dari berbagai pengertian ini maka semestinya manusia semakin menyadari, bahwa tidak ada cara lain untuk memperbaiki berbagai kerusakan dan kebangkrutan, tidak ada cara lain yang lebih terukur dan langgeng dalam upaya menekan dan mengobati penyakit sosial masyarakat, dan tidak ada cara lain pula yang dapat menjamin cita -cita kesejahteraan dan kemajuan hidup bersama di muka bumi ini kecuali dengan satu kata yang dapat merangkum berbagai persepsi solusi terhadap semua permasalahan itu, yakni dengan bertakwa.
--oO0Oo--
Tantangan Dan Kendala Takwa
Sebagaimana diketahui, definisi umum dari kata takwa adalah, mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Tentu, definisi demikian akan terasa cukup berat sedangkan persepsi tentang tanggung-jawab itu dibebankan kepada setiap individu secara rigid / kaku. Mengingat bahwa semua perintah dan larangan itu terangkum dalam Al Qur'an, maka tanggung-jawab itu hanya dipercayakan untuk orang-orang yang mengimaninya.
Orang-orang mu'minin itulah yang memiliki keyakinan kuat, kecerdasan spiritual, dan ketangkasan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan kepada takwa. Mereka tidak pernah ragu dengan semua isi Al Qur'an, tidak mudah terombang-ambing dengan kebanyakan pendapat orang di muka- bumi, karena mereka meyakini Kalimat Tuhan Semesta telah sempurna mengambil kebenaran dan keadilan. Tidak ada yang sanggup mengubah Kalimat Tuhan QS.6 :114-116.
Kendalanya barangkali adalah, apakah uraian tersebut hanya sebatas berupa ajaran yang hanya bisa dibanggakan tapi sangat sulit untuk direalisasikan ..? Atau .., apakah ajaran dari Pencipta Alam Semesta itu hanya berfungsi sebagai penyejuk hati ditengah makin beringas dan maraknya beragam kekacauan di sana-sini ..? Atau sebaliknya, apakah jika hal itu diberlakukan secara resmi maka akan berdampak pada kemandegan kreatifitas manusia atau bahkan dapat melumpuhkan demokratisasi dan membelenggu hak Azazi ..?.
Berbagai pertanyaan bernada klasik dan terkesan dicari-cari ini tampaknya memang pernah merebak lama dan gaungnya pun masih terdengar sampai sekarang. Tentu, pertanyaan tersebut dan berbagai pertanyan serupa tidak terjadi atau tidak match jika ditujukan kepada mereka yang bertakwa dan terus berusaha meningkatkan ketakwaannnya, karena Al Qur'an yang tidak diragukan kebenarannya itu telah menjadi petunjuk bagi permasalahan kehidupan mereka QS.2: 2, QS. 3:138.
Namun demikian, kiranya perlu bagi kita untuk sedikit menganalisis latar-belakang dan sebab-akibat dari pertanyan itu agar dapat diketahui sejauh mana hubungan nilai-nilai transendental yang bersifat absolut dapat diterjemahkn secara konkrit dalam rasionalitas empiris yang membelenggu kehidupan ras manusia. Mungkin .., kita bisa berharap mendapatkan beberapa alternatif solusi, dimana nanti bisa dibandingkan solusi mana yang paling sedikit berdampak buruk bagi kemajuan budaya dan peradaban ras manusia.
Mari kita mulai dengan pertanyan pertama ..: Apakah ajaran Tuhan tentang Iman dan Takwa hanya bisa dibanggakan (dan disampaikan pada saat-saat peribadatan tertentu saja) namun sangat sulit untuk direalisasikan dalam kehidupan nyata ..? Pertanyaan ini agaknya mengandung hikmah yang begitu luas dan berarti cukup dalam, namun karena faktor keterbatasan pengetahuan dan thema, maka disini hanya bisa dikupas seperlunya.
Kita harus awali jawaban dari pertanyaan tersebut dengan beberapa perumpamaan sebagai berikut. Bahwa, berdasarkan rasionalitas manusia, bumi yang kita huni sekarang ini membutuhkan waktu sekitar 4 milyar tahun lamanya untuk siap menerima kehadiran mahluk hidup yang pertama kali berkesempatan mendiaminya, yakni sejenis alga dan amuba...
Sejenis mamalia mirip ras manusia yang hadir pertama kali di bumi ini baru sekitar 2 juta tahun yang lalu, tampaknya seperti "anak baru kemarin sore" yang singgah di alam dunia untuk kemudian bersiap pergi melanjutkan perjalanan evolutif mereka.
Ras dinosaurus dari ras reptil yng pernah menguasai bumi lebih dari 150 juta tahun lamanya (Era Mesozoic, 230 s / d 63 juta tahun lalu) kini telah telah punah-binasa dan mewariskan segala prilaku hidup mereka kepada ras manusia yang telah, sedang, dan masih terus memanfaatkan ekstrak bangkai-bangkai mereka.
Ras manusia menggunakan kelimpahan energi fosil itu untuk menyalurkan hasrat sebagai ras baru penguasa bumi, hasrat untuk membangun dan menghancurkan, dan hasrat untuk terus melestarikan maupun untuk membuat kerusakan. Membangun gedung pencakar langit barangkali membutuhkan waktu berbulan-bulan, namun meratakannya dengan tanah mungkin hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Artinya adalah, mewujudkan suatu cita-cita yang cermat, penuh keberkahan dan bernilai mulia, nyatanya membutuhkan proses waktu dan kerja yang jauh lebih lama dibandingkan dengan sekedar untuk merusak dan membinasakannya.
Demikian pula dengan upaya untuk mewujudkan suatu pedoman dari Tuhan Pencipta seluruh alam semesta beserta segenap isinya, Zat Maha Besar (Al Kabiir) yang telah merencanakan jagat semesta raya ini jauh-jauh hari (milyaran tahun lalu) dibanding dengan 'sekedar' penciptaan ras manusia QS .40:57. Hal ini tentunya memerlukan kesungguhan luar-biasa yang terus-menerus, disertai pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan dana, serta berbagai sumber daya lainnya yang tak sedikit.
Apalagi upaya realisasi itu dilakukan oleh manusia namun sekaligus juga untuk kepentingan manusia, maka untuk kepentingan ini diperlukanlah berbagai aturan yang bersifat komprehensif dan mampu mencakup semua permasalahan yang dialami ras manusia agar dapat terus terpelihara ras kemanusiaannya. Allah SWT sebagai Zat Pemelihara (Al Wakiil) seluruh isi alam semesta memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada-Nya melalui Kitab-Kitab Suci yang diturunkan melalui para Nabi-NYa. Bilamana mereka mengingkari maka hal itu hanya akan merugikan ras manusia itu sendiri.
Bila Tuhan menghendaki, niscaya hancur-Nya ras manusia di bumi ini lalu didatangkan-Nya mahluk jenis baru sebagai pengganti. Hal ini sangat mudah terjadi karena Dia Mahakuasa terhadap apa yang dikehendaki-Nya QS.4 :131-133. QS.14: 19 -20. QS.35 :16-17. Ras manusia sebagai produk paling mutakhir di bumi ini diyakini memiliki peran dan potensi paling besar dalam upaya pelestarian maupun kehancurannya, termasuk ancaman terhadap kehancuran ras manusia itu sendiri. Tidak ada musuh yang paling membahayakan ras manusia kecuali manusia itu sendiri. Tapi yang lebih esensial adalah tidak ada musuh yang paling jelas dan tetap selalu memerangi manusia kecuali setan beserta bala-tentaranya QS.36: 60, yang terdiri atas bangsa jin dan manusia QS.114 :4-6.
Meskipun proses penciptaan ras manusia dapat dianggap kurang dari 1% jika dibandingkan dengan keseluruhan proses waktu yang telah ditempuh selama pembentukan bumi, namun keberadaannya kini dapat secara seketika menghancurkan semua unsur kehidupan yang telah berlangsung milyaran tahun lamanya ini. Kenapa ya .., ras manusia koq bisa sangat begitu membahayakan .......?
Hal ini terjadi bisa diakibatkan oleh minimal 2 faktor. Pertama adalah, ras manusia adalah satu-satunya mahluk di muka-bumi ini yang mampu menyerap semua unsur yang pernah diproduksi bumi, bahkan yang mampu memproduksi unsur-unsur baru dari padanya, misalnya plutonium. Logika sederhananya berbunyi, siapa yang mampu menyerap segalanya tentu juga mampu menghancurkan semuanya.
Faktor yang kedua adalah, manusia adalah ras mahluk di muka-bumi yang memiliki dua kecenderungan ekstrim dalam dirinya. Kecenderungan terhadap kebaikan dan kebenaran yang merepresentasi sifat malaikat maupun kecenderungan terhadap keburukan dan kecurangan yang merepresentasi sifat setan, di dalamnya terkandung unsur ketaatan dn pembangkangan terhadap kehendak Tuhan Maha Pencipta. Penggabungan terhadap kedua faktor dengan kecenderungan sifat negatif itulah yang mampu melahirkan daya rusak yang sangat luar-biasa.
Bila mau, manusia bisa menggunduli hutan belantara dan menenggelamkan 1 atau 2 pulau dalam waktu yang singkat. Namun prilaku destruktif secara massal tidak mudah terjadi sebagaimana hendak membalik telapak tangan. Kecuali, unsur-unsur malaikat telah sirna dari sisi kehidupan banyak manusia.
Dengan kata lain, hal demikian akan terjadi bila kebanyakan ras manusia telah diperbudak setan dan jin karena memperturutkan hawa nafsunya. Bila kondisi buruk itu terjadi, sebagaimana pernah terjadi pada berbagai jaman kegelapan di masa lalu, maka barangkali di masa depan akan ditemukan suatu populasi manusia yang begitu sedikitnya, berada di tempat-tempat terpencil yang menyedihkan dan saling menjauh, hanya ditemani oleh keremangan cuaca berkabut dan mimpi buruk radiasi yang tak pernah tahu kapan akan berakhir.
Atau dapat juga menjelma dalam sisi buruk yang lain, yakni suatu populasi manusia yang tumbuh begitu fantastis dan berkembang pesat pada hampir semua muka bumi, dimana faktor akhlak / ethical dan moral telah begitu asing atau bahkan terlupakan sama-sekali. Akibat terlalu penuhnya persoalan sosial dan begitu beratnya persaingan hidup, ditambah dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin menganga membuat berbagai aturan dan hukum yang terus-menerus diproduksi manusia justru semakin membuat korupsi, kolusi dan berbagai bentuk tirani bertambah makin meraja-lela. Hukum rimba dalam segala aspek akan menjadi satu- satunya hukum yang tak bisa terhindarkan lagi.
Kedua gambaran buruk yang menimpa peradaban manusia ini bisa terjadi dalam kenyataan yang lebih mencengangkan, sedangkan ras manusia telah banyak saling memangsa sesamanya. Apakah .., berarti khiasan atau harfiah, keduanya merupakan tragedi gelap suatu peradaban yang dalam terminologi agama dikenal sebagai neraka kehidupan dunia.
Kita pernah mendapatkan beberapa bukti dari berbagai jenis fosil yang ditemukan, bahwa bangsa reptil yang sebelumnya lemah dan kecil itu .., akibat berjalannya waktu selama jutaan tahun membuat mereka mampu berevolusi hingga menghasilkan hewan-hewan buas raksasa yang sebagian besar saling memangsa satu dengan lainnya... Atau bahkan jauh-jauh hari sebelum waktu berkuasanya bangsa reptil itu, yakni pada periode Devonian sekitar 405 s / d 345 juta tahun yang lalu, dimana bumi masih dikuasai oleh bangsa ikan. Sebagian besar dari mereka berevolusi dari berbagai bentuk invertebrata yang lemah sampai menjadi bermacam hiu raksasa dan aneka jenis ikan buas lainnya, dimana akhirnya mereka saling memangsa dan sebagian besar dari mereka kini telah menemukan kepunahannya.
Mengingat Surah Annisa ayat 131-133 diatas, maka apakah ras manusia akan mengalami nasib yang sama ..? Kita sungguh tidak mengetahui, apa jenisnya dan bagaimana cara-kerja setan dalam proses kehancuran bangsa dinosaurus, ras ikan buas, atau ras jenis mahluk hidup lainnya di masa lalu. Tapi kita tahu dalam terminologi agama bahwa bangsa setan telah diciptakan Tuhan jauh-jauh hari sebelum ras manusia muncul di bumi ini QS.15: 27. QS.18: 51.
Barangkali, senjata yang dibanggakan setan sebelum terciptanya ras manusia adalah berupa, kerakusan, keserakahan, dan egoisme untuk mencapai tubuh besar dan bertaring tajam, atau atribut kuno lainnya yang diperlukan demi tercapainya kesempurnaan suatu hukum rimba. Namun setelah Adam AS diciptakan dan setan dikutuk Tuhan karena merasa lebih bangga dengan asal-muasal dan potensi dirinya, maka setan harus melengkapi senjatanya dengan keterampilan tipu-muslihat, bujuk-rayu menyesatkan, dan janji-janji muluk yang melenakan kesadaran nurani. Sehingga, setan berhasil menyiasati Adam-Hawa untuk mendurhakai Tuhan.
Alhasil, Adam-Hawa diturunkan dari surga dan umat manusia pun sebagian memusuhi bagian lainnya dengan berbekal sejata setan yang memang sengaja dipersiapkan untuk mengadu-domba dan menyesatkan ras manusia QS.7: 24. QS.2: 36. QS.20: 123. Maka kita pun merasakan dan saling menjadi saksi pembantaian antar sesama manusia, terus-menerus terjadi sepanjang waktu dan di setiap jaman.
Agar gambaran buruk tentang gelapnya masa depan peradaban manusia tidak menjelma menjadi kenyataan getir yang lebih tak terbayangkan lagi ngerinya, akibat begitu banyak manusia telah diperbudak setan karena memperturutkan hawa nafsunya, maka realisasi ajaran Tuhan untuk sungguh bertakwa merupakan perintah yang sangat penting dan urgent, demi tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan diantara ras manusia secara adil dan merata. Bukankah pakaian takwa lebih baik bagi seorang mu'min walau dibandingkan dengan perhiasan yang paling indah sekalipun ..? Justru dengan bekal takwa, ras manusia dapat terhindar dari perangkap setan sebagaimana pernah berhasil dilakukannya ketika mengeluarkan Adam-Hawa dari tempat penuh kesejahteraan di surga QS.7 :26-27.
Demi memelihara kelestarian ras manusia dan sekaligus mempertahankan nilai-nilai kemanusiaannya itulah Tuhan Allah menurunkan Kitab-Kitab Suci serta mengajarkan iman dan takwa melalui para Nabi dan Rosul-Nya. Dengan kehadiran para utusan Allah itulah ras manusia dapat kembali melanjutkan peradaban dan mengembangkan kebudayaannya.
Puncak peradaban yang pernah dicapai ras manusia dalam kaitannya dengan realisasi ajaran Iman dan Takwa, dimana dalam masyarakatnya pernah terwujud ketinggian akhlak / ethical dan moral yang menghiasi sistem keadilan yang disenangi semua kalangan, dan kesejahteraan yang merata sampai ke level anggota masyarakat paling rendah, hingga tidak ditemukan penyakit sosial yang sempat tumbuh dalam komunitas itu, bahkan .., yang keberadaannya menjamin kedamaian dan ketentraman banyak negara di sekelilingnya, semua kelebihan itu / termasuk kelebihan lain yang tak terbayangkan baiknya, benar-benar pernah terjadi dan tercatat secara authentic dalam sejarah dunia.
Puncak peradaban yang dimaksud tidak lain adalah sistem sosial masyarakat yang dibangun oleh Nabi SAW bersama Para Sahabatnya di Madinah ..., menarik untuk direnungkan bahwa, yang digunakan oleh Nabi SAW adalah istilah 'Sahabat', bukan pejabat, bukan murid, bukan pengikut, bukan pula istilah lain yang bertentangan dengan semangat kebersamaan. Hal ini sesuai dengan standar penilaian Tuhan Allah SWT bahwa semua ras manusia dari bangsa manapun juga, dinilai sama kedudukannya kecuali yang paling tinggi tingkat ketakwaannya diantara mereka.
Puncak peradaban itu pada jaman Khulafa Rasyidin dikembangkan ke negara-negara tetangga di Afrika-Utara, sebagian Eropa, bahkan hingga bagian tengah benua Asia hingga Cina. Puncak peradaban yang dimaksud mengandung arti, bahwa semua anggota masyarakat terlibat secara aktif, bebas mengemukakan pendapat dan terbuka dalam mewujudkan segala bentuk kebaikan paling tinggi yang pernah dicapai ras manusia. Karenanya, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Abu Hurairah RA berkata: Rosulullah SAW bersabda, jalan masuk di kota Madinah dijaga para malaikat, karenanya tidak dapat dimasuki oleh penyakit menular ataupun para penipu / Dajjal .. ". Juga dikatakan oleh Sa'ad RA bahwa Rosulullah SAW bersabda, Siapa yang berbuat makar / kejahatan terhadap penduduk Madinah, niscaya akan hancur seperti hancurnya garam terkena air. HR. Bukhori.
Hal demikian merupakan bukti yang menunjukkan bahwa keimanan dan ketakwaan mereka telah mampu mengantarkan suatu golongan manusia menjadi umat terbaik yang pernah muncul diantara ras manusia lainnya QS.3: 110. Tentu saja .., kinerja abadi yang diakui berbagai cendekiawan seluruh dunia itu tidak terjadi begitu saja semudah orang membalik telapak tangan. Namun sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hal itu membutuhkan kesungguhan yang terus-menerus disertai pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dana dan sumber daya lain yang tak sedikit. Dan semua itu hanya bisa diupayakan dengan bekal Iman dan Takwa. Dengan bekal Iman dan Takwa, ras manusia akan lebih mudah berbuat kebajikan / kebaikan di muka bumi ini, dan memiliki kekuatan untuk memberantas dan mencegah kemungkaran ...
"Kamulah Umat Terbaik yang muncul ditengah ras manusia .., kamu memerintahkan berbuat makruf / kebajikan, dan mencegah tindakan mungkar / kesewenangan dan beriman kepada Allah .., sekiranya Ahli Kitab beriman, niscaya hal itu baik bagi mereka .., namun sebagian dari mereka beriman dan kebanyakan lainnya berbuat fasik .. " QS.3: 110
Maka .., tentang pertanyaan apakah ajaran Iman-Takwa hanya bisa dibanggakan namun sangat sulit untuk direalisasikan nampaknya bisa menjadi konklusi bahwa, justru karena hanya bisa dibanggakan maka realisasi ajaran itu menjadi begitu sulit untuk diwujudkan secara konkret dan optimal. Bahkan pada taraf tertentu, kebanggaan justru dapat menjadi faktor penghambat utama, kalau bukan sebagai halangan terpenting yang membuat semakin sulitnya ajaran itu dapat diterapkan secara menyeluruh ditengah-tengah umat manusia.
Bukankah akibat faktor kebanggaan / merasa diri lebih baik / ujub sehingga Iblis menemui kutukannya dan dihukum sesat oleh Tuhan Semesta Alam ..? Bukankah bangsa setan itu kemudian senantiasa berusaha menyesatkan dan membinasakan bangsa manusia ..? Dan .., bukankah hanya dengan bekal takwa maka manusia bisa terlepas dari perangkapnya ..?
Jadi, tampaknya tidak ada hubungan sinergis antara rasa bangga dengan sikap takwa. Justru sebaliknya, hubungan itu bisa saling meniadakan atau sekurangnya saling meredusir antara satu dengan lainnya. Sebagaimana hubungan antara sifat kemunafikan dengan keimanan yang satu sama lainnya saling bertolak-bertentangan. Maka akan menjadi relevan kiranya bila pertanyaan pertama tadi menjadi berubah bunyi: Apakah faktor kebangaan justru dapat menyulitkan upaya realisasi ajaran takwa ...? Jawabannya adalah: Ya, sampai batas tertentu faktor kebanggaan dapat menghambat upaya realisasi ajaran takwa, sebagaimna uraian tersebut diatas.
Bukankah kita bangga bahwa Al Qur'an adalah Kitab Suci yang sempurna isinya, dan kebanggaan itu justru melalaikan kita untuk mendalami isi dan menggali kemaslahatan penemuan-penemuan baru dari padanya ..? Bukankah kita bangga bahwa Muhammad SAW adalah manusia terbaik yang diciptakan Tuhan dibanding semua mahluk yang pernah dan akan hadir di bumi ini, begitu bangganya sampai kita berusaha mengkultuskannya dengan berbagai cara namun lalai menerapkan apa saja yang justru telah menjadi esensi ajarannya .., Kita marah bila Muhammad SAW dihina, namun kita menolak untuk meniru akhlak Beliau SAW yang begitu mulia.
Kita bangga bahwa kita adalah umat muslim terbesar di dunia yang memiliki ilmu tentang ketuhanan yang paling sempurna dan tak terbantahkan ajaran manapun juga, tapi kita tak mampu memimpin peradaban diatas muka bumi ... Bahkan .., terhadap nasib kesejahteraan umat manusia di negeri sendiri. Kita bangga dengan segala atribut dari tanah Arabia atau secara berseberangan bahkan lebih bangga dengan tradisi luhur bangsa sendiri, namun nyatanya kita sering berada dalam posisi sebagai santapan lezat atau sekurangnya sebagai alat mainan bangsa lain.
Meskipun begitu, kita masih 'beruntung' karena banyak para cendekiawan dan kaum intelektual telah berhasil meraih gelar pendidikan dari negara-negara barat yang maju dan moderen, sehingga kebanggaan ini malah semakin memperparah kerusakan moral dan ahlak bangsa akibat berbagai ekses negatif lain yang ikut terbawa justru ternyata menelan cost yang sangat mahal harganya, baik ditinjau dari segi material maupun secara spiritual.
Bahkan .., sementara kita terus berusaha mengumpulkan berbagai kebanggaan di sekitar kita, maka yang akan semakin nampak adalah awal dari musibah yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari rangkaian musibah sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai kita benar-benar sadar bahwa kebanggaan sebenarnya bukanlah milik kita. Kebanggaan hanyalah milik Tuhan Allah, Sang Maha Tunggal yang 'dicuri' setan untuk kemudian dijejalkan secara halus namun penuh semangat ke dalam diri ras manusia.
Yang lebih membahayakan dari faktor kebanggaan adalah bila ia telah bersemayam kuat dalam diri para pemimpin bangsa, termasuk para calon pemimpin serta sistem yang mewujudkannya. Secara bertahap namun pasti, faktor ini akan menggiring masyarakat ke dalam suatu kompetisi jabatan / posisi yng sangat tidak sehat, tidak fair, dan berarti meratakan jalan bagi kebobrokan sistem yang semakin korup akibat habitasi sistem telah menumbuhkan beragam jenis sogok, suap, dan biaya siluman lain secara nyaris 'melembaga'.
Akibat lain dari kebanggaan yang telah bersemayam kuat dalam dada adalah: kesewenangan dalam menetapkan keputusan publik, penyalah-gunaan jabatan / posisi untuk kepentingan pribadi / golongan dimana akhirnya akan menimbulkan kecemburuan sosial-ekonomi bukan hanya pada level masyarakat, tapi juga pada level partai dan antar departemen, termasuk antar unsur-unsur yang menjadi pilar negara. Tentu saja, semua kebangkrutan dan kerusakan sistem keadilan ini bukanlah merupakan kesalahan para penyelenggara negara maupun segelintir orang yang menikmati sari dari segenap kekayaan negeri .., meskipuun .., masyarakat miskin dan sederhana yng menjadi bagian paling besar di negeri itu akan sangat serempak membantahnya.
Dari terus-menerus mengumpulkan berbagai bentuk keburukan yang ada sambil menyesali nasib suatu negeri yang tak kunjung memberi harapan, atau bahkan .., sampai lelah menyerapah namun tak kunjung pula bisa diperbaiki .., yang lebih mudah dan lebih baik dari hal itu tampaknya adalah berupaya kembali kepada ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun sementara orang mengatakan bahwa tindakan ini sekedar merupakan kompensasi terhadap penderitaan sosial-ekonomi yang sedang dihadapi, setidaknya ia dapat berfungsi sebagai penyejuk hati ditengah makin beringas dan maraknya kekacauan sistem yang sedang terjadi. Fungsi ini bisa efektif terutama bagi golongan masyarakat lemah dan tertindas, sementara terhadap kaum kebalikannya, fungsi itu dapat digunakan sebagai sarana yang 'cukup aman' untuk mencuci dosa atau menebus kesalahan yang barangkali tidak mampu diketahui secara pasti.
Namun demikian, alangkah naifnya manusia bila memberi fungsi kepada ajaran Tuhan Sang Pencipta hanya sebatas pada dataran penyejuk hati. Secara individu tentu memberi manfaat yang sangat berarti, karena memang demikianlah ketetapan yang telah digariskan Tuhan Allah SWT dalam QS.13: 28. Secara sosial, fungsi itu harus mewujud dalam tindakan pertobatan, pemantapan iman, dan peningkatan amal saleh, sebagaimana tertuang dalam ayat tersebut, sebelum dan sesudahnya. Bilamana hal itu tidak terwujud dalam masyarakat, maka "anak-kembar" dari senjata setan yang lain yakni lengah dan lalai, akan menguasai lingkungan kesadaran nurani dan pola pikir manusia sampai kembali mengantarkannya ke jurang bencana dan musibah baru. Sikap bangga yang kemudian melahirkan kelengahan dan kelalaian adalah senjata setan yang sangat ampuh untuk melumpuhkan manusia dari kemajuan peradabannya ..,
Kita harus benar-benar melawannya sekuat mungkin atas nama pencipta manusia dan atas nama kemanusiaan itu sendiri. Kita harus memperlakukan musuh sebagaimana adanya musuh QS.35: 6. Bila kita tidak melakukannya niscaya setan akan mensubversi iman manusia secara tak terasa, namun sekaligus berinfiltrasi menyarangkan senjata-senjata purbanya secara gradual dan bergradasi. Mungkin diawali dengan subjektivisme, lalu egoisme, tamakisme, kemudian bengisisme, tiranisme, hingga barangkali sampai ke puncak-puncak kerusakan semacam terorisme, dan sebagainya. Tentu .., diperlukan thema khusus dan orang-orang yang punya keahlian khusus untuk memilah-milah dan mendefinisi aneka paham dan ideologi versi satanisme ini agar ras manusia dapat secara tangkas mewaspadainya.
"Sesungguhnya setan itu adalah musuhmu .., maka perlakukanlah ia sebagaimana engkau memperlakukan musuh ... Sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang meyala-nyala .." QS.35: 6
Yang akan ditekankan dalam hal ini adalah, bahwa setan dengan segala sifatnya yang sangat merugikan dan membahayakan eksistensi ras manusia memang sungguh-sungguh benar adanya. Dalam kerangka empirisme merupakan suatu jenis mahluk yang telah menempuh proses evolusi jauh lebih lama dibanding ras mamalia, apalagi manusia. Jadi pembahasan tentang setan dengan segala sifatnya bukanlah sekedar diskusi tentang agama / dogma dalam arti tradisional-budaya yang telah ditempuh ras manusia.
Namun lebih dari pengertian itu, pembahasan mengenai hal ini mengandung makna yang dapat menjabarkan atau sekurangnya menampung suatu proses mengenai kebijakan evolusi yang telah dan akan terus terjadi di kolong jagat semesta raya ini. Dalam kaitan inilah maka pembicaraan tentang peradaban ras manusia tidak mungkin dapat dipisahkan dari faktor-faktor yang dapat memusnahkannya maupun faktor-faktor yang dapat mendukung dan melestarikannya.
Faktor-faktor yang dapat menghancurkan peradaban ras manusia, sebagaimana dibahas sebelumnya, terutama sekali berasal dari ras manusia itu sendiri. Yang lebih esensial adalah bersumber dari segala sesuatu yang berhubungan dengan sikap pembangkangan terhadap kebijakan evolusi yang telah ditetapkan Sang Maha Pencipta. Pembahasan lebih detail dan serius tentang hal ini akan kita temukan dalam bab IV nanti.
Sekarang kita kembali ke pertanyan kedua: Apakah ajaran dari Pencipta Alam Semesta itu hanya berfungsi sebagai sarana penyejuk hati ..? Tadi telah sedikit dikemukakan bahwa ia dapat difungsikan demikian, meskipun .., mengingat betapa besarnya potensi yang terkandung dalam diri ras manusia, fungsi ajaran itu tentunya tidak hanya berhenti sampai sebatas itu. Ras manusia membutuhkan banyak upaya lain yang lebih konkret dan sistematis untuk menghasilkan manfaat yang optimal dari ajaran itu. Yakni, bagaimana menciptakan suatu peradaban ras manusia yang bisa menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan secara menyeluruh di alam empiris ini dan di alam akhirat nanti.
Upaya konkret dan sistematis itu sendiri bukanlah bersumber dari paham-paham atau ideologi sektoral dan temporal yang berdasarkan pengalaman spesifik suatu bangsa manusia tertentu, nyatanya begitu banyak menyesakkan dada atau bahkan memperkosa nurani dan akal manusia, misalnya semacam dogmatisme radikal sampai atheisme moderen. Bukan pula yang begitu menggebu menyesatkan peradaban menuju lingkaran setan yang justru semakin memperbudak nilai-nilai kemanusiaan, dan membuatnya hidup dalam keterasingan. Yang mewakili hal ini barangkali adalah post-industrialisme yang memicu empirisme radikal, atau paham-paham eksperimental ekstrim lainnya.
Kita tidak menyangkal bahwa sebagian besar dari paham yang disebut itu telah banyak mewarnai kemajuan peradaban dan kesejahteraan sebagian manusia hingga kini. Namun kita juga tidak bisa menutup mata, kecuali jika hati kita telah buta atau mengalami musibah kematian nurani, bahwa dampak-dampak negatif yang dihasilkannya justru ternyata jauh lebih besar dari yang sebelumnya kita kira. Ini terjadi karena kemajuan-kemajuan empiris yang telah dicapai itu masih berputar-putar atau senantiasa bergelut pada berbagai permasalahan yang cara penyelesaiannya melulu disandarkan pada kemampuan berpikir secara rasional saja.
Padahal kita tahu, tidak satupun manusia di kolong langit ini tahu secara pasti tentang hal apa saja yang akan terjadi esok hari. Meskipun, berkenaan dengan itu ras manusia menjadi begitu tertantang untuk menganalisa, memprediksi, memprediksi, sampai menduga-duga apa saja yang bisa dijadikan dasar untuk melandasi gerak kemajuannya di hari-hari mendatang.
Memang karena hal inilah prinsip-prinsip dasar suatu dinamika masyarakat dapat berkembang sebagaimana kaidah-kaidah peradaban menemukan pertumbuhannya. Namun persoalannya adalah ketidak-mampuan manusia dalam mengkalkulasi secara akurat dampak negatif apa saja yang mungkin timbul akibat diterapkannya suatu paham atau ideologi tertentu, bahkan .., termasuk yang hanya sekedar sebuah tindakan sepele atau keputusan konyol belaka.
.............