|
|
|
MI'RAJ SEBAGAI KONSEKUENSI LOGIS DARI KEBIJAKAN EVOLUSI
Pembaca yang budiman.., semoga Anda senantiasa dikaruniai rahmat Tuhan SWT.., kita tentu telah sama mengetahui bahwa fungsi utama dari sholat adalah untuk mengingat Allah SWT, sehingga dengan itu sangat diharapkan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (yakni segala perbuatan yang melampaui batas dan membangkangi ketetapan Tuhan Allah SWT seumpama korupsi, perzinahan, pembunuhan massal, kejahatan narkotika, dsb). Kita bisa merasakan bahwa kata mencegah, secara umum membawa kita kepada dua konsekuensi logis dalam segi implementasinya. Dalam artian pasif bermakna sebagai pengekangan ke dalam diri sendiri, yakni pengendalian diri phisikal, emosional, intelektual, maupun spiritual, yang keseluruhan muaranya bersifat etis-moralis. Dalam artian aktif bermakna lebih praksis, yakni berupaya dengan segenap kemampuan (terukur dari kualitas etis-moral yang dimiliki) untuk menyampaikan, mengingatkan, atau bahkan mengecam agar kekejian dan kemungkaran itu tidak terjadi lagi atau menyebar kemana-mana. Hal ini sesuai dengan makna filosofis dari ucapan salam / syalom / doa kesejahteraan diakhir sholat kepada segenap sesama muslim dan mahluk Tuhan lainnya.
Maka, bilamana satu dari dua konsekuensi logis tadi ternyata tidak mampu menghasilkan makna yang cukup berarti, dapat dikatakan bahwa sholat yng dilakukan itu belum sampai kepada fungsinya yang utama. Dalam 'bahasa' AlQur'an dikatakan bahwa ia belum mampu mendirikan sholat, atau yang lebih merisaukan lagi disebut sebagai pendusta atau peruntuh agama. Dalam hal ini, kita.., dengan berbagai kelemahan yang ada.., harus sudah berani mengikrarkan kesungguhan dalam hati bahwa sholat wajib dikerjakan (demi kebutuhan kita untuk mengingat kebesaran Allah SWT) oleh semua mahluk termasuk ras manusia, sesuai dengan syariat masing-masing yang telah ditetapkan oleh Tuhan Maha Pencipta.
Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah, perintah sholat bagi orang muslim dalam bentuk yang kita saksikan sebagaimana sekarang ini, sudah dilakukan sejak setahun sebelum hijrah Nabi SAW ke daerah Madinah. Perintah itu diterima ketika Allah SWT menganugrahi Beliau SAW kesempatan Israa' (perjalanan malam hari dari masjid Al Haram di Mekah ke masjid Al Aqsa di Palestina) yang kemudian dilanjutkan dengan Mi'raj, yakni suatu perjalanan spektakuler ke langit menembus ruang-angkasa, menuju ke suatu tempat yang bernama Sidratul Muntaha. Proses dari perjalanan itu sendiri hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja, yakni sekitar pertengahan malam hingga menjelang subuh Nabi SAW telah kembali lagi ke Mekah. Rasionalitas umum manusia tentu akan membenarkan peristiwa itu bila perjalanan dilakukan dengan suatu sarana yang memiliki kecepatan luar-biasa. Pengetahuan yang telah dikenal masyarakat luas mengenai sarana yang digunakannya itu adalah apa yang disebut sebagai Buraq.
Dalam hal ini, kita tidak perlu membahas semacam apakah kendaraan yang bernama Buraq itu, yang mampu mengantar Beliau SAW dari Mekah ke Palestina dalam waktu yang relatif singkat, sebagaimana yang pernah terjadi beberapa ribu tahun sebelumnya pada masa kerajaan Nabi Sulaiman AS. Pada masa itu salah seorang yang berpengetahuan luas (teknologi canggih) telah mampu memindahkan singgasana Ratu Bulqis dari kerajaan Sheba / Sabaiyah di negeri Yaman ke Palestina hanya dalam waktu 'sekejapan mata' saja, QS.27:40.
Yang cukup perlu untuk dicatat dalam peristiwa Israa' (perjalanan horizontal) adalah, adanya beberapa saksi mata yang sempat melihat langsung kearah Muhammad SAW yang sedang mengendarai kuda putih bersayap sedang terbang di udara, bahkan mereka yang melihat itu umumnya dari orang-orang kafir dan beberapa kafilah dagang... Untuk masa sekarang ini, nampaknya kemajuan teknologi yang ada sudah cukup membuktikan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi.
Namun mengenai peristiwa Mi'raj (perjalanan vertikal), nampaknya masih banyak manusia yang belum mampu meyakini sepenuhnya, baik dari kalangan yang berargumen empirisme maupun dari sudut pandang dogmatisme, umumnya mereka sekedar percaya bahwa hal itu benar tanpa mempertimbangkan konsekuensi lebih lanjut dari peristiwa Mi'raj itu. Bahkan yang lebih merepotkan dari kalangan yang telah disebut diatas adalah skeptisisme dari orang-orang yang telah mengetahui peristiwa Mi'raj Muhammad SAW adalah sungguh-sungguh terjadi, namun golongan ini senantiasa berupaya agar kenyataan itu dapat dipungkiri.., Apakah dengan kepintaran-pengetahuannya itu, mereka bisa merubah bengkok jalan Allah dan Nabi-Nya yang lurus..? Upaya-upaya jahat semacam ini telah diperingatkan dalam AlQur'an. QS.35:3-4. QS.22:15.
Perjalanan Mi'raj Muhammad SAW dari Masjidil Aqsa ke langit tertinggi, menembus ruang-angkasa menuju ke Sidratul Muntaha adalah wujud konkrit dari suatu hubungan vertikal antara mahluk dengan Al Khalik, antara manusia dengan Penciptanya, yakni antara yang bersifat empiris dengan Yang Maha Absolut, Sang Pemilik Kekuasaan Mutlak.
Keagungan dan kebesaran Zat Robbul 'Aalamin itulah sebagai sebab yang menjadikan Muhammad SAW dipenuhi rahmat dari Tuhannya. Kenyataan ini sungguh melampaui batas segala imajinasi maupun rasionalitas seluruh manusia dan segenap mahluk lainnya. Mengingat.., bahwa sebesar-besar sifat Allah yaitu Rabb, terdapat dalam AlQur'an sekurang-kurangnya disebut sebanyak 960 kali, seperti Robbinnaas.., Robbil falaq.., Robbanaa.., Robbuka.., Robbul ardh.., Robbussamawaat.., Robbul Arsy.., Robbil 'Izzati.., dan seterusnyaa.., hingga semuanya itu terangkum dalam sebuah kalimat Robbul 'Aalamiin.........!!!!
Saya belum mampu membayangkan makna sesungguhnya dari kalimat Robbul 'Aalamiin ini, namun tentunya merupakan suatu sistem pengelolaan manajemen yang sangat dahsyat dan paling kompleks karena diterapkan kepada seluruh mahluk di semua dimensi alam semesta yang maha luas ini....
Allah SWT dengan sifat Rabb-Nya Yang Suci dan memenuhi segenap isi alam telah sempurna mendidik seorang manusia yang dipilih-Nya hingga sampai pada suatu derajat ketergantungan tertinggi dari seorang hamba kepada Tuhannya. Penghambaan mutlak yang telah dicapai Muhammad SAW terhadap Allah SWT akhirnya mengantarkan Beliau SAW pada keyakinan terdalam bahwa Tuhan Yang Maha Mutlak yang menjadi satu-satunya tempat ia bergantung harapan. Bukan mengandalkan atau mengharap dukungan dari Abu THalib, Khadijah, atau bantuan dari para sahabat maupun suku bangsa lain. Maka.., demi keterkaitan yang paling kuat lagi paling suci antara penghambaan mutlak Muhammad SAW terhadap Robbul 'Aalamiin , Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.., terjadilah peristiwa Mi'raj ke Sidratul Muntaha, menemui Rabb-nya Yang Paling Tinggi lagi Yang Maha Suci.
Beliau SAW dibawa menaiki 'tangga cahaya' bersama Jibril AS melesat ke ruang-angkasa diiringi cahaya cemerlang yang menembus, yang sekaligus berfungsi melindungi dirinya QS.37:10 dari bahaya gesekan antar ruang-waktu. Di masa-masa sekarang ini, teknologi ruang-angkasa yang dikuasai ras manusia telah mampu mengantarkan mereka bolak-balik ratusan kali menembus ruang-angkasa terdekat, itupun masih menggunakan bahan bakar hidrogen cair yang ternyata baru mampu menghasilkan kecepatan sekian kali kecepatan suara, sehingga daya tempuh pesawat ulang-alik itu baru bisa mencapai jarak di sekeliling orbit bumi.
Sedangkan Muhammad SAW dalam menempuh perjalanan Mi'rajnya tidak menggunakan sarana berkecepatan suara yang berkisar 340 m/detik itu, melainkan diselubungi cahaya cemerlang yang menembus. Hal ini bisa mengisyaratkan arti bahwa kecepatan perjalanan Mi'raj Nabi SAW melebihi kecepatan cahaya yang 30.000 km/detik itu. Untuk ukuran umum ras manusia dan teknologi yang dicapai hingga saat ini tentu hal demikian terdengar mustahil, sebagaimana ketika Ibunda Maria AS hamil tanpa suami dan ketika bayinya lahir telah pandai berkata-kata, atau ketika Nabi Isa telah dewasa Beliau AS membentuk tanah seperti burung lalu setelah ditiup tanah itu berubah menjadi burung yang sesungguhnya QS.5:110, untuk ukuran umum tentu saja hal-hal semacam itu terdengar begitu mustahil walaupun nyata terjadi.
Namun Allah SWT yang mempunyai seluruh kekuasaan yang sesungguhnya itu QS.10:65, memerintahkan ras manusia untuk memperhatikan / merenungkan keadaan penciptaan dirinya sendiri, bagaimanakah keadaan sperma yang dipancarkannya ke rahim istrinya QS.56:58-59.., bahkan.., manusia hanya sebagai sarana dan perantara tanpa turut serta dalam proses penciptaan itu.
Diantara puluhan hingga ratusan juta sel sperma yang terpancar itu umumnya hanya beberapa yang mampu menuju saluran cervical dan rongga rahim untuk terus berusaha keras menuju ke lubang fallopi, dimana hanya satu saja yang akan mampu membuahi sel telur yang kemungkinan muncul dari ovarium.., Jika dibandingkan ukuran sebuah sel sperma dengan jarak yang telah ditempuhnya untuk membuahi sel telur, kira-kira sama dengan ukuran manusia dewasa yang menempuh perjalanan ke bulan. Bahkan.., proses pembuahan itu berlangsung begitu cepat..!!
Lalu.., apakah Allah SWT yang berkuasa menciptakan semuanya itu tidak sanggup memperjalankan hamba yang dikasihi dan disayangi-Nya ke hadapan-Nya. Maha Suci Allah yang telah meng Isra'kan hamba-Nya QS.17:1.., serta mengantarkannya ke Sidratul Muntaha QS.53:11-18, sehingga Beliau SAW dengan ditemani Malaikat Jibril AS sebagai mahluk ciptaan Allah yang sangat cerdas QS.53:6 dapat menyaksikan Surga.., Neraka.., dan berbagai fenomena spektakuler yang telah diperlihatkan Robbul 'Aalamiin kepada Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam.
Segala apa yang diperlihatkan Tuhan Semesta Alam kepada Muhammad SAW dalam peristiwa Mi'raj itu bukanlah sekedar ilusi pelipur lara atau bahkan hiburan bagi Nabi yang sedang berduka. Semua itu adalah benar datangnya dari Yang Haq, dan merupakan konsekuensi logis dari kebijakan evolusi terhadap ras manusia dan alam semesta. Bagi Muhammad SAW, Robbul 'Aalamiin bukanlah sekedar kata-kata, dan keyakinan kita terhadap surga dan neraka barulah sebatas keyakinan belaka, atau bahkan sekedar sebagai dogma. Namun bagi Nabi Shollallohu'alaihi wassalam semua itu adalah haqqul yaqiin.
Allah SWT adalah Al Haq, pertemuan dengan-Nya adalah Haq, perkataan-Nya adalah Haq, Surga-Nya adalah Haq, Neraka-Nya adalah Haq, Para Nabi adalah Haq, Muhammad SAW adalah Haq, Kiamat adalah Haq.. dengan penuh kesadaran dan kerinduan yang begitu dalam Beliau ucapkan semua itu diantara doa-doa pada setiap sholat tahajjud yang dilakukannya.
Pada salah-satu kesempatan perjalanan Mi'raj itu, Nabi SAW dari kejauhan melihat lembah besar neraka dimana seolah-olah sedang turun hujan yang sangat lebat dari atasnya. Ketika Beliau tanyakan kenapa terjadi hujan yang begitu lebatnya di atas lembah neraka itu, Jibril AS menjelaskan bahwa hujan yang sangat lebat itu sesungguhnya adalah jatuhnya manusia dari titian Shiraath Al Mustaqiem. Karena terlalu banyaknya ras manusia yang jatuh memasuki lembah neraka, sehingga dari kejauhan nampak terlihat oleh Nabi SAW sebagai titik-titik kecil air hujan yang jatuh dengan begitu derasnya. Masya Allaahu Akbar...
Oleh karena itu, kita pun mulai menyadari betapa menjelang wafatnya, Beliau SAW sangat menekankan agar manusia jangan meninggalkan AlQur'an dan Sunnah.., dan Beliau SAW menangisi bagaimana nasib manusia nanti dengan kalimat : ummatii.., ummatii.., ummatii..(umatku...).. Bisakah kita membayangkan, betapa begitu sayangnya MUHAMMAD SAW kepada ras manusia...???
Maka Allah SWT memerintahkan Muhammad SAW untuk terus naik ke langit tertinggi, untuk menghadap kepada-NYa. Sementara Malaikat Jibril AS yang memiliki kecepatan cahaya sudah tidak sanggup mengikutinya. Singkat peristiwa, Nabi SAW menerima perintah sholat lima waktu sebagai karunia tak terhingga dari Maha Pencipta sehingga wajib dikerjakan umatnya sepanjang hidupnya. Sekali lagi, kewajiban untuk mengerjakan sholat lima waktu bukanlah merupakan beban, melainkan lebih sebagai karunia yang diberikan Allah SWT kepada hamba-hamba yang disayangi-Nya, agar menjadi saksi dan bukti nyata antara keberadaan Tuhan dengan semua ciptaan-Nya, antara realitas-empiris dengan spiritualitas-absolut, antara Akhirat dengan Dunia yang sedang dihuninya sekarang ini QS.22:78.
FOTO PUSAT GALAKSI, PESAWAT RUANG-ANGKASA
Maka, bilamana satu dari dua konsekuensi logis tadi ternyata tidak mampu menghasilkan makna yang cukup berarti, dapat dikatakan bahwa sholat yng dilakukan itu belum sampai kepada fungsinya yang utama. Dalam 'bahasa' AlQur'an dikatakan bahwa ia belum mampu mendirikan sholat, atau yang lebih merisaukan lagi disebut sebagai pendusta atau peruntuh agama. Dalam hal ini, kita.., dengan berbagai kelemahan yang ada.., harus sudah berani mengikrarkan kesungguhan dalam hati bahwa sholat wajib dikerjakan (demi kebutuhan kita untuk mengingat kebesaran Allah SWT) oleh semua mahluk termasuk ras manusia, sesuai dengan syariat masing-masing yang telah ditetapkan oleh Tuhan Maha Pencipta.
Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah, perintah sholat bagi orang muslim dalam bentuk yang kita saksikan sebagaimana sekarang ini, sudah dilakukan sejak setahun sebelum hijrah Nabi SAW ke daerah Madinah. Perintah itu diterima ketika Allah SWT menganugrahi Beliau SAW kesempatan Israa' (perjalanan malam hari dari masjid Al Haram di Mekah ke masjid Al Aqsa di Palestina) yang kemudian dilanjutkan dengan Mi'raj, yakni suatu perjalanan spektakuler ke langit menembus ruang-angkasa, menuju ke suatu tempat yang bernama Sidratul Muntaha. Proses dari perjalanan itu sendiri hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja, yakni sekitar pertengahan malam hingga menjelang subuh Nabi SAW telah kembali lagi ke Mekah. Rasionalitas umum manusia tentu akan membenarkan peristiwa itu bila perjalanan dilakukan dengan suatu sarana yang memiliki kecepatan luar-biasa. Pengetahuan yang telah dikenal masyarakat luas mengenai sarana yang digunakannya itu adalah apa yang disebut sebagai Buraq.
Dalam hal ini, kita tidak perlu membahas semacam apakah kendaraan yang bernama Buraq itu, yang mampu mengantar Beliau SAW dari Mekah ke Palestina dalam waktu yang relatif singkat, sebagaimana yang pernah terjadi beberapa ribu tahun sebelumnya pada masa kerajaan Nabi Sulaiman AS. Pada masa itu salah seorang yang berpengetahuan luas (teknologi canggih) telah mampu memindahkan singgasana Ratu Bulqis dari kerajaan Sheba / Sabaiyah di negeri Yaman ke Palestina hanya dalam waktu 'sekejapan mata' saja, QS.27:40.
Yang cukup perlu untuk dicatat dalam peristiwa Israa' (perjalanan horizontal) adalah, adanya beberapa saksi mata yang sempat melihat langsung kearah Muhammad SAW yang sedang mengendarai kuda putih bersayap sedang terbang di udara, bahkan mereka yang melihat itu umumnya dari orang-orang kafir dan beberapa kafilah dagang... Untuk masa sekarang ini, nampaknya kemajuan teknologi yang ada sudah cukup membuktikan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi.
Namun mengenai peristiwa Mi'raj (perjalanan vertikal), nampaknya masih banyak manusia yang belum mampu meyakini sepenuhnya, baik dari kalangan yang berargumen empirisme maupun dari sudut pandang dogmatisme, umumnya mereka sekedar percaya bahwa hal itu benar tanpa mempertimbangkan konsekuensi lebih lanjut dari peristiwa Mi'raj itu. Bahkan yang lebih merepotkan dari kalangan yang telah disebut diatas adalah skeptisisme dari orang-orang yang telah mengetahui peristiwa Mi'raj Muhammad SAW adalah sungguh-sungguh terjadi, namun golongan ini senantiasa berupaya agar kenyataan itu dapat dipungkiri.., Apakah dengan kepintaran-pengetahuannya itu, mereka bisa merubah bengkok jalan Allah dan Nabi-Nya yang lurus..? Upaya-upaya jahat semacam ini telah diperingatkan dalam AlQur'an. QS.35:3-4. QS.22:15.
Perjalanan Mi'raj Muhammad SAW dari Masjidil Aqsa ke langit tertinggi, menembus ruang-angkasa menuju ke Sidratul Muntaha adalah wujud konkrit dari suatu hubungan vertikal antara mahluk dengan Al Khalik, antara manusia dengan Penciptanya, yakni antara yang bersifat empiris dengan Yang Maha Absolut, Sang Pemilik Kekuasaan Mutlak.
Keagungan dan kebesaran Zat Robbul 'Aalamin itulah sebagai sebab yang menjadikan Muhammad SAW dipenuhi rahmat dari Tuhannya. Kenyataan ini sungguh melampaui batas segala imajinasi maupun rasionalitas seluruh manusia dan segenap mahluk lainnya. Mengingat.., bahwa sebesar-besar sifat Allah yaitu Rabb, terdapat dalam AlQur'an sekurang-kurangnya disebut sebanyak 960 kali, seperti Robbinnaas.., Robbil falaq.., Robbanaa.., Robbuka.., Robbul ardh.., Robbussamawaat.., Robbul Arsy.., Robbil 'Izzati.., dan seterusnyaa.., hingga semuanya itu terangkum dalam sebuah kalimat Robbul 'Aalamiin.........!!!!
Saya belum mampu membayangkan makna sesungguhnya dari kalimat Robbul 'Aalamiin ini, namun tentunya merupakan suatu sistem pengelolaan manajemen yang sangat dahsyat dan paling kompleks karena diterapkan kepada seluruh mahluk di semua dimensi alam semesta yang maha luas ini....
Allah SWT dengan sifat Rabb-Nya Yang Suci dan memenuhi segenap isi alam telah sempurna mendidik seorang manusia yang dipilih-Nya hingga sampai pada suatu derajat ketergantungan tertinggi dari seorang hamba kepada Tuhannya. Penghambaan mutlak yang telah dicapai Muhammad SAW terhadap Allah SWT akhirnya mengantarkan Beliau SAW pada keyakinan terdalam bahwa Tuhan Yang Maha Mutlak yang menjadi satu-satunya tempat ia bergantung harapan. Bukan mengandalkan atau mengharap dukungan dari Abu THalib, Khadijah, atau bantuan dari para sahabat maupun suku bangsa lain. Maka.., demi keterkaitan yang paling kuat lagi paling suci antara penghambaan mutlak Muhammad SAW terhadap Robbul 'Aalamiin , Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.., terjadilah peristiwa Mi'raj ke Sidratul Muntaha, menemui Rabb-nya Yang Paling Tinggi lagi Yang Maha Suci.
Beliau SAW dibawa menaiki 'tangga cahaya' bersama Jibril AS melesat ke ruang-angkasa diiringi cahaya cemerlang yang menembus, yang sekaligus berfungsi melindungi dirinya QS.37:10 dari bahaya gesekan antar ruang-waktu. Di masa-masa sekarang ini, teknologi ruang-angkasa yang dikuasai ras manusia telah mampu mengantarkan mereka bolak-balik ratusan kali menembus ruang-angkasa terdekat, itupun masih menggunakan bahan bakar hidrogen cair yang ternyata baru mampu menghasilkan kecepatan sekian kali kecepatan suara, sehingga daya tempuh pesawat ulang-alik itu baru bisa mencapai jarak di sekeliling orbit bumi.
Sedangkan Muhammad SAW dalam menempuh perjalanan Mi'rajnya tidak menggunakan sarana berkecepatan suara yang berkisar 340 m/detik itu, melainkan diselubungi cahaya cemerlang yang menembus. Hal ini bisa mengisyaratkan arti bahwa kecepatan perjalanan Mi'raj Nabi SAW melebihi kecepatan cahaya yang 30.000 km/detik itu. Untuk ukuran umum ras manusia dan teknologi yang dicapai hingga saat ini tentu hal demikian terdengar mustahil, sebagaimana ketika Ibunda Maria AS hamil tanpa suami dan ketika bayinya lahir telah pandai berkata-kata, atau ketika Nabi Isa telah dewasa Beliau AS membentuk tanah seperti burung lalu setelah ditiup tanah itu berubah menjadi burung yang sesungguhnya QS.5:110, untuk ukuran umum tentu saja hal-hal semacam itu terdengar begitu mustahil walaupun nyata terjadi.
Namun Allah SWT yang mempunyai seluruh kekuasaan yang sesungguhnya itu QS.10:65, memerintahkan ras manusia untuk memperhatikan / merenungkan keadaan penciptaan dirinya sendiri, bagaimanakah keadaan sperma yang dipancarkannya ke rahim istrinya QS.56:58-59.., bahkan.., manusia hanya sebagai sarana dan perantara tanpa turut serta dalam proses penciptaan itu.
Diantara puluhan hingga ratusan juta sel sperma yang terpancar itu umumnya hanya beberapa yang mampu menuju saluran cervical dan rongga rahim untuk terus berusaha keras menuju ke lubang fallopi, dimana hanya satu saja yang akan mampu membuahi sel telur yang kemungkinan muncul dari ovarium.., Jika dibandingkan ukuran sebuah sel sperma dengan jarak yang telah ditempuhnya untuk membuahi sel telur, kira-kira sama dengan ukuran manusia dewasa yang menempuh perjalanan ke bulan. Bahkan.., proses pembuahan itu berlangsung begitu cepat..!!
Lalu.., apakah Allah SWT yang berkuasa menciptakan semuanya itu tidak sanggup memperjalankan hamba yang dikasihi dan disayangi-Nya ke hadapan-Nya. Maha Suci Allah yang telah meng Isra'kan hamba-Nya QS.17:1.., serta mengantarkannya ke Sidratul Muntaha QS.53:11-18, sehingga Beliau SAW dengan ditemani Malaikat Jibril AS sebagai mahluk ciptaan Allah yang sangat cerdas QS.53:6 dapat menyaksikan Surga.., Neraka.., dan berbagai fenomena spektakuler yang telah diperlihatkan Robbul 'Aalamiin kepada Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam.
Segala apa yang diperlihatkan Tuhan Semesta Alam kepada Muhammad SAW dalam peristiwa Mi'raj itu bukanlah sekedar ilusi pelipur lara atau bahkan hiburan bagi Nabi yang sedang berduka. Semua itu adalah benar datangnya dari Yang Haq, dan merupakan konsekuensi logis dari kebijakan evolusi terhadap ras manusia dan alam semesta. Bagi Muhammad SAW, Robbul 'Aalamiin bukanlah sekedar kata-kata, dan keyakinan kita terhadap surga dan neraka barulah sebatas keyakinan belaka, atau bahkan sekedar sebagai dogma. Namun bagi Nabi Shollallohu'alaihi wassalam semua itu adalah haqqul yaqiin.
Allah SWT adalah Al Haq, pertemuan dengan-Nya adalah Haq, perkataan-Nya adalah Haq, Surga-Nya adalah Haq, Neraka-Nya adalah Haq, Para Nabi adalah Haq, Muhammad SAW adalah Haq, Kiamat adalah Haq.. dengan penuh kesadaran dan kerinduan yang begitu dalam Beliau ucapkan semua itu diantara doa-doa pada setiap sholat tahajjud yang dilakukannya.
Pada salah-satu kesempatan perjalanan Mi'raj itu, Nabi SAW dari kejauhan melihat lembah besar neraka dimana seolah-olah sedang turun hujan yang sangat lebat dari atasnya. Ketika Beliau tanyakan kenapa terjadi hujan yang begitu lebatnya di atas lembah neraka itu, Jibril AS menjelaskan bahwa hujan yang sangat lebat itu sesungguhnya adalah jatuhnya manusia dari titian Shiraath Al Mustaqiem. Karena terlalu banyaknya ras manusia yang jatuh memasuki lembah neraka, sehingga dari kejauhan nampak terlihat oleh Nabi SAW sebagai titik-titik kecil air hujan yang jatuh dengan begitu derasnya. Masya Allaahu Akbar...
Oleh karena itu, kita pun mulai menyadari betapa menjelang wafatnya, Beliau SAW sangat menekankan agar manusia jangan meninggalkan AlQur'an dan Sunnah.., dan Beliau SAW menangisi bagaimana nasib manusia nanti dengan kalimat : ummatii.., ummatii.., ummatii..(umatku...).. Bisakah kita membayangkan, betapa begitu sayangnya MUHAMMAD SAW kepada ras manusia...???
Maka Allah SWT memerintahkan Muhammad SAW untuk terus naik ke langit tertinggi, untuk menghadap kepada-NYa. Sementara Malaikat Jibril AS yang memiliki kecepatan cahaya sudah tidak sanggup mengikutinya. Singkat peristiwa, Nabi SAW menerima perintah sholat lima waktu sebagai karunia tak terhingga dari Maha Pencipta sehingga wajib dikerjakan umatnya sepanjang hidupnya. Sekali lagi, kewajiban untuk mengerjakan sholat lima waktu bukanlah merupakan beban, melainkan lebih sebagai karunia yang diberikan Allah SWT kepada hamba-hamba yang disayangi-Nya, agar menjadi saksi dan bukti nyata antara keberadaan Tuhan dengan semua ciptaan-Nya, antara realitas-empiris dengan spiritualitas-absolut, antara Akhirat dengan Dunia yang sedang dihuninya sekarang ini QS.22:78.
FOTO PUSAT GALAKSI, PESAWAT RUANG-ANGKASA