Rekonstruksi Lahirnya Kebijakan Evolusi
Manakala suatu ketika di masa lampau, seorang manusia paling purba melihat sesuatu yang begitu mencengangkannya, sehingga peristiwa dahsyat yang terjadi didepan matanya itu berhasil memaksa masuk ke memori otaknya, pada saat itulah mulai terjadi 'sesuatu yang baru' dalam diri manusia paling purba itu. Ia tidak lagi seperti binatang lain yang diburu atau yang memburunya. Secara hati-hati dapat kita katakan bahwa ia mulai bisa 'berpikir'.
Selama ratusan ribu tahun (yang menurut ukuran waktu kita saat ini mungkin terasa begitu menjemukan) proses yang berkembang lamban itu kelak menghasilkan apa yang kita sebut sebagai animisme dan dinamisme, dan dalam tingkat yang lebih maju memunculkan berbagai corak kebudayaan. Berbagai macam dan jenis tuhan sesembahan dan nama dewa-dewa ditampilkan di muka bumi ini yang pada prinsipnya ditujukan untuk mempertahankan dan menguasai daerah buruan masing-masing demi kelangsungan hidup kelompoknya. Mereka belum mampu memahami bahwa hanya Tuhan Maha Pencipta yang mampu menciptakan lembah-lembah sungai, gunung-gunung tinggi, segala mahluk di sekeliling mereka dan fenomena alam lainnya. Karena kebanyakan manusia tidak mengetahui, maka mereka pun saling bertempur dan membunuh atas nama tuhan sesembahan dan dewa masing-masing yang mereka yakini kekuatannya. Dalam konteks Animisme dan Dinamisme, tuhan sesembahan dan dewa-dewa mereka tidak lain termasuk dalam golongan jin yang secara moral-spiritual selalu berusaha mempengaruhi manusia untuk berbuat jahat dan melanggar aturan Tuhan Pencipta Alam Semesta QS.6:100. Oleh karenanya, kebudayaan mereka yang tinggi dimasa lampau kini telah hancur dan hanya menyisakan puing-puing keantikan yang tidak banyak mempengaruhi kemajuan jaman di masa selanjutnya.QS.30:9-10. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana proses kebijakan yang telah mereka tempuh selama masa evolusi yang amat panjang itu..?. Apakah kita berasal dari kera..? Padahal kedua mata kita menyaksikan sendiri berbagai macam jenis kera itu 'beratraksi' di kebun-binatang dihadapan kita. Kita perhatikan mereka memanjat, bertepuk tangan sambil memonyongkan mulutnya, menggaruk-garuk kepala dan punggung, tapi raut wajah mereka tak pernah menunjukkan ekspresi yang mengatakan kalau mereka pernah begitu dekat menjadi kerabat kita. Sepanjang informasi yang kita ketahui hingga kini, kita telah meyakini bahwa para kera itu belum pernah melahirkan seorang bayi kera yang mampu menangis dan mirip bayi manusia. Bagaimana empirisisme memandang hal ini..? Tadi telah kita kemukakan bagaimana seorang manusia paling purba mulai bisa 'berpikir' pada suatu ketika di masa lampau. Berdasarkan hal itu kita bisa mulai menduga, membayangkan bagaimana ia bisa membuat api dengan cara saling menggesek dua kayu atau dua batu api misalnya. Kehadiran api dihadapannya yang terasa begitu menghangatkan dan mempesona bisa jadi merupakan awal permulaan suatu 'pesan kebijakan' , yang pada proses evolusi selanjutnya memunculkan berbagai ritual kekaguman. Ada dewa api dengan bermacam prosesi ritual mereka, ada dewa gunung berapi atau dewa pohon besar sebagai akibat dari asal mula api itu dalam pandangan mereka. Ada pula dewa air yang 'memberi' begitu banyak kelimpahan ikan, dewa laut, dan sebagainya. Singkatnya, apa yang kita sebut sebagai 'pesan kebijakan' telah mampu mentransformasi perilaku-hewan dalam keseharian kelompok manusia purba menjadi perilaku-manusia yang telah mempunyai kebiasaan baru yakni melakukan ritual khusus. Lambat-laun, seiring bertambahnya populasi dan 'sesuatu yang baru' dalam kehidupan kelompok manusia purba itu, bertambahnya 'pesan kebijakan' pun makin menemukan konfigurasinya mewarnai corak kehidupan mereka. Dalam hal ini, Saya masih belum mahir menduga atau membayangkan apakah bayi-bayi manusia purba pada saat itu telah bisa menangis pada saat dilahirkan dari rahim ibu mereka. Persoalan ini Saya pikir cukup serius bilamana hendak kita tujukan untuk mengetahui sampai seberapa jauh tingkat perkembangan ekspresi kelompok manusia purba yang telah tercapai pada tahap ini. Karena segala sesuatu dalam dimensi waktu selalu diciptakan melalui proses demi proses, sesuai dengan yang tercantum dalam QS.71:14. QS.84:19, bilamana (berkaitan dengan soal perkembangan evolusi) suatu ketika bayi manusia purba mulai bisa menangis, maka secara logis dapat dikatakan bahwa kedua orang-tua purba dan manusia purba lainnya yang hadir disitu dianggap telah mampu mengekspresikan kegembiraan kolektif mereka. Kita menilai suatu ekspresi individu lebih tinggi kadarnya dibanding ekspresi kolektif. Artinya, bisa saja diantara hadirin yang bergembira itu justru masih banyak yang mengalami kesulitan untuk belajar bagaimana cara untuk tertawa. Atau justru sebaliknya, jika perkembangan ekspresi mereka lebih maju maka kegembiraan mereka itu tentu terilhami oleh produk kekecewaan diwaktu-waktu sebelumnya, ditambah dengan, sekurangnya.., setitik perenungan untuk meraba penggalan kebenaran atau kesalahan yang mungkin nampak masih begitu kabur dalam pandangan mereka. Kembali ke soal bayi manusia purba yang mulai bisa menangis walau dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun. Secara kejiwaan (psikis) dapat dikatakan bahwa sang bayi telah membawa karakteristik ekspresi dari orang-tua purba,QS.91:7. Jika dikatakan bahwa evolusi merupakan faktor genetik yang membutuhkan perubahan dalam waktu yang lama (August Weisman) maka nampaknya, empirisme mulai kehabisan kata-kata dalam usahanya menerangkan hubungan antara perkembangan jiwa dengan genetika. Sementara Sang Maha Pencipta menjelaskan bahwa Dialah Yang Zhahir, Maha Pembentuk phisik mahluk-Nya melalui tahap detail evolusi, sekligus Dialah Yang Bathin, Maha menyempurnakan jiwa mahluk yang diciptakan-Nya. Tuhan menciptakan semua itu dengan segala proses Keperkasaan-Nya dan dengan segala Kebijakan-Nya yang menyeluruh. QS.2:209. Berkenaan dengan kebijakan itu nampaknya kelompok kecil manusia purba belum sampai pada tingkat kemajuan yang lebih jauh. Apa yang kita sebut sebagai 'pesan kebijakan' selanjutnya barangkali baru pada tahap gerak-gerak sederhana tertentu sambil mengitari api unggun dimana makanan yang akan disantap bersama, telah dibakar diatas api unggun itu. Dalam hal ini, kita sudah bisa memastikan bahwa mereka sudah bukan dalam golongan prilaku-hewan kera lagi. Sampai pada suatu ketika, ritual ekspresi mereka wujudkan dalam bentuk tarian kecil ditambah bunyi-bunyi suara mulut yang barangkali masih menyerupai suara hewan. Kepastian mengenai bertambah besarnya api unggun yang digelar di area terbuka, bisa menunjukkan 'kepastian' mengenai bertambahnya jumlah populasi mereka. 'Pesan kebijakan' mungkin berbunyi agak lebih baik, misalnya kira-kira begini, "api besar inilah yang mengantarkan kita menjadi lebih maju, dia-lah yang menjadikan kita bertambah banyak, bertambah kuat dan sukses, api inilah yang membuat kita bisa bahagia, oleh karena itu kita harus menghormati dan berterima-kasih kepadanya.." Barangkali, ilmu matematika dasar dalam bentuk paling primitif sekalipun lambat-laun akan bisa mereka kenali seiring dengan bertambahnya jumlah populasi mereka. Berkesesuaian dengan kemajuan itu tentunya, mereka telah mulai mengenal apa yang biasa kita sebut sebagai argumentasi, walaupun masih dalam tahap yang sangat sederhana sekalipun. Pada tahap selanjutnya, berhubungan dengan jumlah manusia purba yang semakin bertambah banyak, sampailah pada suatu keniscayaan dimana apa yang selama ini mereka makan terasa berkurang dalam pandangan mereka yang masih sempit itu. Mereka belum tahu cara beternak atau bercocok-tanam, belum mengerti bagaimana cara melumpuhkan hewan buruan yang lebih ganas, dan berbagai rupa sebab yang intinya, kelompok manusia purba mulai belajar tentang apa itu rasa kecewa. Pada kondisi kekecewaan kolektif serupa itu ditambah rasa lapar yang melilit dan memburu, bisa jadi menghantarkan mereka pada 'pesan kebijakan' tertentu yang diharapkan muncul dari api unggun yang mereka kelilingi dengan hanya sedikit atau bahkan tanpa makanan yang dibakar diatasnya. Kita bisa bayangkan, bagaimana api besar yang panas bergemeletuk dengan tanpa bentuk yang pasti itu, seolah menawarkan begitu banyak inspirasi atau malahan serentetan perenungan. Tapi.., bagaimanakah keadaan bagi sekumpulan manusia purba yang dihinggapi keadaan lapar luar-biasa dan sedang belajar mengerti bagaimana mengatasi suatu rasa kecewa, kita bertanya apa gerangan 'pikiran' yang paling cepat hinggap didalam insting tiap diri mereka....?? |
|
|
Berdasarkan catatan Arkheologis dan fakta-fakta empiris yang kita alami hingga kini, ditambah dengan beberapa bukti aktifitas Animisme-Dinamisme yang masih tersisa di pedalaman suatu pelosok daerah terpencil tertentu, kita dihadapkan oleh beberapa alternatif yang paling mungkin terjadi. Beberapa alternatif itu setidaknya adalah : Kanibalisme, Sakrifisme, dan Perang Antar Suku. Tanpa mengesampingkan dua alternatif lainnya, tidak juga dilandasi keinginan untuk memperdebatkan mana diantara ketiga alternatif itu yang muncul lebih dahulu, Saya memilih Sakrifisme sebagai bahasan singkat untuk melanjutkan sub bahasan mengenai Rekonstruksi Kebijakan Evolusi ini. Alternatif itu kita pilih dengan harapan agar struktur perbincangan dapat lebih kita pelihara dan tetap terjaga dijalurnya.
Kita kembali ke soal api unggun yang sedang dikelilingi sekelompok manusia purba tadi, rasa lapar yang sangat (atau minimal tidak sekenyang dimasa-masa sebelumnya) yang hinggap di perut mereka sangat berkemungkinan memunculkan 'pikiran-pikiran' liar yang sulit terukur dan terkendali. Ditambah dengan 'keheranan' kolektif mereka ketika meresponse pendatang baru di hati dalam bentuk rasa kecewa, maka spekulasi paling 'berani' yang bisa dijabarkan setelah dikemukakan hal ini adalah sebagai berikut : Seorang manusia purba yang dianggap paling berpengalaman dan sangat dihormati diantara kelompoknya tiba-tiba tersentak berdiri..,(atau kalau mereka 'kebetulan' sedang berdiri, maka ia mendadak tiarap sujud).., lalu menunjukkan sikap ketakutan dihadapan api unggun yang besar itu. Barangkali setelah terjadi sedikit kegaduhan diantara mereka akhirnya semua mengikuti apa yang dilakukan si Kepala Suku (sebuah julukan baru yang rupanya perlu kita berikan) ini. Selanjutnya, Sang Kepala Suku mendadak berdiri dengan sikap dan ekspresi lebih bingung bercampur beringas dibandingkan dengan para anggota yang lain. Setelah beberapa saat melangkah sambil memandangi satu-persatu anggotanya, entah apa sebabnya mendadak Sang Kepala Suku menarik tubuh salah-seorang diantara mereka secara paksa, lalu secara kasar menceburkan manusia purba yang malang itu ketengah-tengah api unggun. Yang terjadi kemudian adalah kian membesarnya api unggun akibat diberi tambahan bahan-bakar berupa gumpalan lemak seorang manusia purba. Erangan keras bercampur sikap berontaknya tentu makin membuat bergelora nya api unggun besar itu. Bila ia ingin melarikan diri, Sang Kepala Suku dan akhirnya diikuti semua yang hadir tentu mencegahnya. Sedikit adrenalin yang menyebar ke segenap pembuluh darah kelompok manusia purba itu kemungkinan besar telah 'menghilangkan' rasa lapar dan 'perasaan' kecewa mereka, lalu berganti dengan kebringasan primitif atau mungkin juga kegembiraan sekaligus ketakutan purba. Apakah mereka menyadari dan merasakan kekejian atau kekejaman yang mereka lakukan pada saat itu..? Adakah terselip sedikit saja rasa kasihan atau kengerian diantara mereka..? Adakah alasan logis yang mampu melandasinya..? Sebelum membahas jawaban dari pertanyaan ini, kita bisa menduga bahwa hal semacam itulah yang bisa menjadi faktor awal dari apa yang kita kenal sekarang sebagai pengorbanan manusia (sakrifisme) terhadap dewa api. Beberapa ribu tahun sebelum saat ini, beberapa bentuk sakrifisme telah dilakukan secara teratur. Misalnya, didahului pembukaan upacara secara khusus, disamping dibuatkan juga tungku-tungku atau lubang-lubang pembakaran QS.85:4-7. Demikian pula dengan kebiasaan yang pernah terjadi selama Abad Pertengahan di sebagian besar daratan Eropa, setiap orang yang divonis sesat oleh penguasa gereja niscaya menemui kematiannya secara mengenaskan di tungku pembakaran ditengah-tengah kerumunan massa yang menontonnya. Biasanya para korban adalah para wanita yang dianggap sebagai penyihir atau para ilmuwan (astronomi, biologi atau kimia) yang berseberangan keyakinan dengan pihak gereja. Yang menarik perhatian kita dalam soal ini adalah, dilakukannya semacam upacara suci terlebih dahulu terhadap calon korban sebelum dibakar ditengah orang ramai. Pada penghujung abad 20 inipun kita temukan juga berbagai kasus pembakaran manusia oleh sekelompok masyarakat di beberapa kota di Indonesia. Peristiwa yang disebut terakhir sama sekali tidak berhubungan dengan Sakrifisme, melainkan lebih bersifat kriminalitas murni, karena kebanyakan korban yang dibakar adalah para pencuri atau perampok kelas kampung yang harus berhadapan dengan semacam 'unjuk-kebringsan' masyarakat yang protes terhadap atmosfir yang semakin terasa menyesakkan kebutuhan hidup mereka. Ada juga model Sakrifisme ala India, dimana Sang Istri harus ikut serta membakar dirinya manakala Sang Suami meninggal dunia. Hal ini dilakukan sebagai wujud kesetiaan dan ketaatan terhadap mendiang suaminya..., dsb.., dst.., Namun model Sakrifisme yang sedang kita bahas ini adalah berkisar sekitar puluhan ribu tahun yang lalu (atau ratusan ribu tahun sebelumnya..?) dan kita tidak punya cukup banyak bukti untuk mengetahuinya secara akurat dan pasti. Satu-satunya cara yang kita anggap paling mendekati ialah dengan merunut kepada pola-pola dari beberapa 'pesan-kebijakan' yang mereka terima saat itu, sebagai proyeksi dari berbagai 'pesan kebijakan' yang secara umum telah dimiliki manusia kini, atau sedemikian pula sebaliknya. Sekarang kita kembali ke kelompok manusia purba dengan Sang Kepala Sukunya. Tadi dikatakan Kepala Suku mendadak tiarap sujud lalu bangkit dengan sikap yang sama-sekali berbeda dari sebelumnya. Dalam istilah sekarang sebagaimana yang masih kita jumpai pada beberapa kebudayaan tradisional di pedalaman Asia, Afrika, Lembah Amazon, dan sebagainya, kita dapati hal itu sebagai : Trance (trans), yakni suatu keadaan seseorang yang sedang kerasukan roh, jin, siluman atau setan. Yakni suatu entitas mahluk tertentu yang keberadaannya memiliki aneka ragam tingkatan energi yang mampu mempengaruhi manusia kepada suatu tindakan dan dampak tertentu. Mengapa terjadi hal sedemikian itu..? Jawaban yang dianggap mendekati kira-kira adalah sebagai berikut, Bilamana Kepala Suku dan anggota kelompoknya merasa kelaparan dan kecewa, maka logika paling sederhana dalam pikiran Kepala Suku mungkin mengatakan bahwa, api unggun besar yang selama ini ia hormati dan selalu 'menerima' daging buruan untuk dibakar diatasnya, sebelum akhirnya dimakan oleh kaumnya, tapi sekarang api itu ternyata tidak lagi menerima apa-apa yang biasanya 'dipersembahkan' kepadanya, tentulah api unggun yang besar itu akan lebih lapar dan lebih kecewa lagi dibanding dirinya. Selanjutnya, 'pesan kebijakan' yang muncul dan diterima dalam bentuk trance yang dialami Kepala Suku tentu saja adalah pengorbanan dari salah seorang anggota kelompoknya dalam bentuk pembakaran diri tadi. Entah mengapa Kepala Suku memilih seorang (kemungkinan besar) anggota yang terlemah diantara kelompoknya, sehingga anggota selebihnya tidak begitu keberatan ikut menyukseskan acara yang kita anggap sadis itu. Saya mengira, mereka pada awalnya belum mengenal apa itu kejam, keji atau sadis, bahkan termasuk rasa kasihan dan kengerian. Kita juga tidak mengetahui apakah daging temannya yang telah matang itu selanjutnya akan mereka makan. Jika demikian halnya, kita bisa memastikan peristiwa itu sebagai awal kemungkinan munculnya Kanibalisme |