YAKIN, TINGKAT KEYAKINAN, DAN HAQQUL YAKIN
Proses Hadirnya Keyakinan Manakala kita membahas tentang yakin dan keyakinan, maka pembahasan ini tidak mungkin bisa dilepaskan dari proses tahapan berpikir yang mesti dilalui. Dimulai dengan kehadiran dan ketertarikan hati terhadap sesuatu hal, lalu muncul dugaan-dugaan hingga terjadi syak/keraguan dan mendorong lahirnya suatu hipotesa atau sangkaan sementara. Berdasar kepada hipotesa itu kemudian dicoba mengumpulkan data/informasi yang lebih valid untuk berupaya menghilangkan keraguan dengan suatu usaha pengamatan/observasi, lalu diujilah kumpulan data/informasi/sample dan segala sesuatu yang diamatinya itu dalam suatu eksperimentasi yang mencakup usaha pembandingan, analisis, penimbangan, uji kelayakan/kebenaran, pengulangan, ekstraksi, dan sebagainya, dan seterusnya..., hingga, setelah melalui suatu dzhoon/sangkaan tertentu lalu terbuktikan secara benar, maka sampailah pada suatu tahap kebenaran tertentu yang disebut sebagai keyakinan. Tahap keyakinan inilah yang mendorong manusia untuk secara yakin mengemukakan teori yang sudah diyakininya sendiri, berdasarkan kepada proses tahapan berpikir tertentu yang telah dilalui pada tahap-tahap sebelumnya itu. Dapat dikatakan, bahwa yakin adalah hasil kerja pikiran manusia secara terstruktur, karena memiliki tahap-tahap tertentu untuk mencapainya. Jadi, yakin tidak sama dengan dogma. Kita kembali ke pembahasan sebelumnya yakni, apakah itu golongan manusia yang sampai pada keyakinan bahwa Zat Tuhan mesti wajib akan keberadaan-Nya (Al Waajid) maupun golongan yang sampai pada keyakinan bahwa Zat Tuhan pasti tidak ada, kedua golongan ini tentunya menerima suatu jenis keyakinan tertentu yang membenarkan keyakinan atau ketidak-yakinannya terhadap keberadaan Zat Tuhan sesuai dengan kemampuan ikhtiar dan bisikan hati / conscience masing-masing. Pertanyaannya adalah, dari siapa, dari apa, atau dari mana mereka semua menerima suatu jenis keyakinan yang berbeda-beda itu. Secara mutlak/absolut jawabnya tentu adalah dari Zat Yang Menghadirkan (Al Mu'miin) dan menetapkan keyakinan tertentu kepada segenap mahluk disesuaikan dengan tingkat ikhtiar dan karakteristik tertentu yang telah dicapai masing-masing, tanpa membeda-bedakan dari mana dan bagaimana asal atau bentuk mahluk tersebut. Sifat-sifat umum/ universalitasnya menunjukkan bahwa Dia adalah Zat Maha Pemurah (Ar Rahmaan) terhadap segala isi alam sebagaimana Dia memberi udara, air, sumber makanan, dan sebagainya. Karena itu pula Dia-lah Zat Maha Mengasihani (Al Waduud) dan memberi sarana-sarana dasar kepada segenap mahluk, Maha mengaruniai rejeki (Ar Rozzaaq) kepada semuanya, sebagai konsekuensi betapa cinta sayangnya Tuhan (Ar Rahiim) kepada segenap mahluk-Nya. Namun demikian kita terusik untuk terus bertanya, akibat dari sangat banyaknya kenyataan yang menunjukkan, mengapa bangsa manusia senantiasa memiliki keyakinan yang berbeda-beda....? Dari berbagai ragam perbedaan keyakinan yang ada itu, apakah diantaranya ada yang lebih benar jika dibandingkan keyakinan lainnya..? Atau bahkan.., adakah suatu bentuk keyakinan yang paling benar diantara mereka... ? Lalu, bagaimanakah pengaruh dari perbedaan keyakinan itu, bahkan konsekuensinya terhadap perkembangan ras manusia..? Marilah kita perhatikan sedikit saja paparan berikut ini. Kita telah mengetahui bahwa setiap mahluk memiliki keyakinan yang berbeda-beda dalam menjalani proses kehidupannya. Kelelawar dan mahluk jenis nocktural lainnya mempunyai keyakinan bahwa bangsanya akan mampu bertahan hidup dan mempertahankan kelangsungan eksistensinya di tempat-tempat yang gelap, sehingga mereka keluar mencari makan di malam hari. Mereka melihat tidak dengan mata, melainkan dengan gelombang suara yang dipantulkannya kembali dari suatu benda menuju ke telinganya. Sementara itu, kumpulan burung-berkicau begitu lantang mengumandangkan suaranya yang merdu saat fajar pagi tiba. Dengan penuh keyakinan mereka terbang menyongsong terangnya pagi, mencari makan hingga sore tiba, malamnya kumpulan burung itu terlelap tidur dengan perut penuh berisi makanan. Dengan bekal keyakinan yang sama mereka akan bangun di saat fajar pagi dan kembali melanjutkan aktifitas kehidupan mereka. Sebaliknya.., ikan-ikan yang hidup di dasar samudra yang dalam tidak pernah mengenal keadaan siang ataupun malam karena begitu pekatnya keadaan lingkungan yang menyelimuti mereka, toh tetap memiliki keyakinan tersendiri sehingga dapat terus mempertahankan generasi selanjutnya. Demikian pula dengan seekor cicak atau bahkan seekor laba-laba dengan sarangnya yang rapuh, mereka tetap memiliki keyakinan yang sempurna hingga dapat menangkap mangsanya yang terbang kesana-kemari walaupun mereka sendiri tidak bisa terbang. Jika kita amati contoh sederhana beberapa contoh aktivitas mahluk diatas, maka nampaklah bahwa tiap-tiap jenisnya memiliki keyakinan yang berbeda antara satu dengan lainnya dalam usaha memperoleh rejeki untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya. Namun mereka juga memiliki sejenis keyakinan tertentu yang sama diantara mereka, yakni, mereka yakin bahwa mereka pasti akan mendapati rejeki. Hal ini mengandung makna bahwa, setiap jenis mahluk memiliki suatu jenis keyakinan tertentu yang berbeda dari mahluk lainnya namun sekaligus memiliki keyakinan yang sama bahwa rejeki mereka dijamin oleh Maha Pemberi Rejeki selama mereka menjalankan jenis keyakinan ras bangsa masing-masing. Berkenaan dengan pertanyaan pertama tadi, yakni mengapa keyakinan ras manusia begitu berbeda-beda padahal mereka berasal dari satu jenis keturunan yang sama. Kita akan coba membahas permasalahan ini dengan terlebih dulu mengupas sedikit makna yang terkandung dari kata yakin atau keyakinan itu sendiri. Kata yakin berasal dari bahasa Arab yang maknanya lebih-kurang menunjukkan kepada sesuatu kepastian, sesuatu yang jelas dan nyata. Yaqiin dalam Al Qur'an dapat juga bermakna kematian QS.15:99, karena mati adalah sesuatu yang paling nyata, jelas dan pasti dialami oleh semua mahluk hidup. Bahasa Inggris menerjemahkannya dengan kata sure atau certain yang maknanya sama, yakni menetapkan suatu bentuk kepastian berdasarkan ketetapan hati. Ketetapan hati ini tentu diperoleh dari suatu tertib berpikir tertentu berdasarkan kepada ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya. Pada dunia hewan, agaknya keyakinan itu telah melekat sedemikian rupa kuatnya sehingga menjadi adat / kebiasaan yang konstan dan diturunkan secara evolutif dalam bentuk insting pada generasi selanjutnya. Namun.., pada ras manusia prosesnya menjadi begitu berbeda, adat / kebiasaan tidak selamanya bersifat konstan karena ada faktor akal-budi yang mampu mentransformasikannya dalam bentuk budaya. Beragam budaya (perilaku khas suatu komunitas tertentu) itu lalu tumbuh dan berkembang di berbagai pelosok bumi dengan ciri khasnya masing-masing. Perbedaan ciri-ciri tersebut dapat diakibatkan oleh bermacam faktor yang mempengaruhi, antara lain : Situasi tempat yang meliputi iklim, kondisi geografis, dan segenap sumber daya alamnya. Faktor lain yang lebih penting adalah sumber daya manusianya, didalamnya tercakup sejarah evolusi yang melahirkan berbagai ras bangsa, pengalaman sejarah yang pernah dilalui, karakter, dan berbagai rupa faktor lain. Faktor-faktor tersebut begitu kuat mempengaruhi pertumbuhan budaya masing-masing, sehingga pada tahap tertentu keyakinan yang terbentuk pada tiap ras / bangsa, bahkan suatu individu manusia pun menjadi berbeda-beda. Dengan kata lain, keyakinan ras manusia menjadi bersifat relatif sehingga banyak menimbulkan konsekuensi yang berbeda-beda antara satu keyakinan dengan keyakinan lainnya. Karenanya, keyakinan dapat ditelaah secara empiris. Tingkat Keyakinan Sekarang kita memasuki pertanyaan kedua. Dari perbedaan keyakinan yang akan terus-menerus ada itu, adakah diantaranya yang lebih benar, atau bahkan yang paling benar..?. Jawaban dari pertanyaan ini, tentunya, juga akan bersifat relatif. Artinya, tidak ada jaminan bahwa jawaban yang ada nanti sudah pasti benar selamanya. Untuk inilah maka kita akan memerlukan segala yang tidak melulu terkungkung secara empiris, sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan terkungkungi waktu, yakni segala yang mutlak atau absolut baik sifat, zat maupun hakikatnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa keyakinan merupakan ketetapan hati dari hasil pengetahuan yang telah didapat akibat dari pengalaman yang telah diterjadi sebelumnya, (karenanya bersifat empiris-relatif) maka perbedaan bentuk keyakinan itu merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Namun demikian, kita juga tidak bisa menyimpulkan begitu saja bahwa masing-masing keyakinan yang berbeda-beda itu apakah memiliki bobot atau mutu kebenaran yang sama. Bukankah orang yang dari kejauhan nampak senang melihat keindahan suatu gunung yang tinggi menjulang menembus awan, akan terkagum-kagum meyakini kekokohan, keteduhan, ketenangan dan kedamaiannya. Lalu.., bagaimanakah keadaannya ketika orang itu sedang mendakinya ?. Begitu susah-payah ia harus berjalan menanjakinya, menerobos hutan belantara atau merayapi batu cadas yang terjal, sementara nampak disekelilingnya terdapat aneka macam hewan buas yang siap memangsa, atau udara dingin yang dapat membekukan, gas beracun yang mematikan, atau lahar panas yang menghanguskan.., maka bagaimanakah keyakinan orang yang sedang mendaki dalam keadaan demikian ? Lalu, ketika dengan amat letih akhirnya orang ini telah sampai ke puncak gunung yang menjulang tinggi itu dan mengarahkan pandangannya ke seantero bumi, bagaimanakah bentuk keyakinannya saat itu..? Tentu.., keyakinannya sangatlah berbeda sekali dengan ketika ia berada dibawahnya, atau ketika sedang berusaha mati-matian mendakinya. Begitu banyak hikmah yang dapat dipetik dari pengalaman pendakian itu, antara lain adalah, rupa daerah tempat kediamannya termasuk kota-kota lain disekitarnya yang begitu dibanggakan atau mungkin malah membuatnya sempat depresi, nampak begitu kecil tak berarti dilihat dari tempatnya memandang. Bagaimanakah jadinya jika gunung-gunung yang lain nun jauh disana yang mengelilingi, serempak memuntahkan laharnya secara tiba-tiba, siapakah yang bisa mencegahnya..?. Siapakah yang bisa mencegah meledaknya Gunung Olympus, Krakatau, Bromo, St.Helens, Pinatubo, Merapi, dan masih banyak lagi yang lainnya ? Atau, bagaimana bila bergunung-gunung es di Antarctica dan bahkan di sekitar Alaska menjadi cair seketika ?. Sebagaimana pernah terjadi 10.000 tahun lalu saat gletser mencair di hampir semua permukaan bumi sehingga berakibat kepunahan massal dari hampir segenap penghuninya, sebagaimana 10.000 tahun sebelum itu semua daratan benua hampir tak ada yang tak tersentuh salju, maka, apakah mustahil bencana serupa akan terulang kembali di masa sekarang ini..? Mungkin, pendaki gunung itu akhirnya sampai pada keyakinan.., bahwa setinggi apapun kebudayaan dan semaju apapun peradaban yang akan dicapai ras manusia tidak akan mampu menyelamatkannya dari kemusnahan, manakala Zat yang senantiasa berkuasa menetapkan peristiwa (Al Qaadir) telah berkehendak untuk menghancurkan seluruh muka bumi ini. Mengenai bermacam rupa suka-duka, kepenatan, luka terkoyak, terperosok, dan aneka ragam pengalaman yang suka atau tidak suka harus dihadapi dengan ketabahan, ulet, kesabaran, dan makin berhati-hati mendaki terutama ketika hendak mencapai pada puncaknya, segala hal mengenai perjalanan mendaki itu hanyalah sebagai ujian untuk sampai pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi, pada tingkat keyakinan yang lebih benar. Makin berat ujian yang ditempuh pada prinsipnya adalah untuk mengantarkan kepada suatu tingkat keyakinan yang makin benar. Semakin benar suatu tingkat keyakinan pada seseorang atau sebuah bangsa maka semakin besarlah peluang survive pada tiap putaran roda peradaban dunia. Karenanya.., keyakinan semestinya selalu berkembang dinamis, senantiasa diperbarui dan diperbaiki ketingkat yang lebih tinggi dari keyakinan yang telah diperoleh pada masa sebelumnya. Jika demikian kiranya, suatu tingkat keyakinan selamanya bersifat empiris setinggi apapun tingkat keyakinan itu. Cuma uniknya adalah.., adanya kemungkinan (akibat faktor relativitas) suatu tingkat keyakinan yang empiris di suatu ruang-waktu tertentu bisa jadi meta-empiris pada ruang-masa yang berbeda. Sehingga bisa dikatakan, tidak ada satupun kebenaran bersifat mutlak kecuali yang dimiliki oleh Zat Maha Mutlak Benar (Al Haq), sebagaimana tidak ada satu pun jenis keyakinan yang secara pasti mutlak benarnya kecuali yang telah disampaikan-Nya QS.56:96. QS.69:51. Dalam kedua ayat ini dijelaskan secara tegas dan jelas bahwa Al Qur'an adalah Haqqul Yaqiin, suatu tingkat keyakinan yang paling sempurna dan paling pasti kadar kebenaran yang terkandung didalamnya. Sepanjang yang Saya tahu selama menjalani hidup di bumi ini, belum ada satu bukti empiris pun yang mampu mengklaim secara pasti suatu tingkat keyakinan paling sempurna yang menyamai apa yang ada dalam Al Qur'an tersebut. |
Teladan Sempurna Dari Manusia Berkeyakinan Sempurna
Dalam hubungannya dengan tingkat keyakinan tertinggi yang pernah dicapai ras manusia, maka pembahasan tentang Al Qur'an ini tidak bisa dilepaskan dengan sosok manusia yang secara empiris pernah hadir ditengah umat manusia pada sekitar abad ke VI lalu, yakni Nabi dan Rosul terakhir yang terangkum dalam sosok Muhammad SAW. Sejarah telah mengakui bahwa Muhammad SAW telah berhasil merubah suatu tatanan masyarakat yang porak-poranda akibat rusaknya akal dan budi-pekerti, berkembangnya berbagai macam keyakinan yang sangat menyesatkan dan saling menghancurkan yang kesemuanya itu nyaris mengantarkan ras manusia menuju suatu ambang kehancuran, secara bertahap namun revolusioner diganti menjadi suatu tatanan masyarakat paling beradab yang pernah hadir di muka bumi ini.
Ahli sejarah yang paling cerdik manapun sulit membantah keberhasilan yang telah dicapai Muhammad SAW dalam membimbing dan membina sekitar 120 ribuan lebih para sahabatnya, yang melalui mereka, akhirnya Rahmat Tuhan itu telah menyebar ke seluruh penjuru dunia hingga kini. Ajaran Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh isi alam dan penyempurna akhlak ras manusia akan terus tetap berkumandang sampai akhir seluruh kehidupan nanti.
Kalimat tersebut bukan sekadar retorika teologis yang bisa mengundang sinisme dan kedengkian bagi mereka yang sengaja membutakan rasionalitas dan akal-nuraninya, melainkan suatu fakta yang keberadaannya terus berkembang dan senantiasa menjadi kajian beragam ras manusia dari waktu ke waktu. Tinjauan tentang penelitian (dari aneka-ragam disiplin ilmu) yang tak pernah berhenti ini saja sudah merupakan bukti kemurnian fitrah ajaran yang disampaikannya. Belum lagi ditambah dengan fakta mengenai adanya beberapa aktivitas keagamaan (mis.ibadah haji) yang makin berkembang, semua itu menunjukkan bahwa apa yang diajarkan dan dicontohkannya sangat relevan dengan perkembangan ras manusia hingga akhir waktu.
Sekali lagi ...., kalimat diatas bukanlah retorika teologis atau sekadar argumen emosional untuk menepis pendapat bahwa Al Qur'an adalah naskah agama kuno yang telah kadaluwarsa atau basi, sebagaimana naskah-naskah agama lain yang ketinggalan jaman. Melainkan, Al Qur'an adalah Haqqul Yaqiin, yang secara empiris-terbuka dapat dibuktikan tingkat kesempurnaan kebenarannya. Meskipun .., harus diakui bahwa Kitab Al Qur'an bukan hanya bersifat empiris setidaknya menurut ukuran ras manusia.
Sedikit pembuktian mengenai hal ini akan dicoba jabarkan pada pertengahan bab selanjutnya, untuk kebutuhan itulah pembahasan filosofis tentang Asma Al Husna ini dipersiapkan.
Tadi telah dikatakan bahwa Al Qur'an adalah Haqqul Yaqiin, adalah suatu tingkat keyakinan yang paling sempurna dan paling pasti tingkat kebenarannya. Jika hal demikian benar adanya, orang yang mengantarkannya ke hadapan manusia pastilah memiliki tingkat keyakinan yang sempurna pula. Begitu sempurnanya tingkat keyakinan itu sehingga tidak ada satupun mahluk yang mampu menyamainya, kecuali tentu saja, kaum Para Nabi dan Rosul yang pernah hadir pada masa-masa sebelumnya.
Dari mana dan bagaimana Muhammad SAW mencapai tingkat keyakinan yang sedemikian tinggi dan sempurna itu ..? . Apakah datang begitu saja dari langit, atau dengan membaca dan mengkaji bertumpuk-tumpuk buku peninggalan masa lalu ..?. Atau apakah dengan cara melanglang buana sambil menuntut ilmu di berbagai penjuru ..?. Berdasarkan bukti-bukti sejarah pada waktu itu, kita mengetahui bahwa tidak ada satupun alasan rasional yang dapat dipakai untuk mendukung apalagi membiarkan semua cara sedemikian itu untuk mencapai tingkat keyakinannya
sampai sempurna.
Memang, Dia sering melakukan khalwat (menjauh dari keramaian dunia) pada setiap bulan Ramadhan di tahun-tahun sebelum pengangkatan kenabiannya. Bahkan, sering kali bertahanuts / bermeditasi untuk memikirkan, merenungi dan coba memahami semua fakta-fakta kebenaran tertinggi di alam semesta ini. Didalam Hira, nama suatu gua yang sempit terletak diatas bukit bebatuan yang sunyi mencekam dekat kota Mekkah, Beliau sering merenung dan memikirkan keadaan umat manusia yang telah begitu banyak berbuat dosa dan aniaya, bahkan semakin terjerumus dalam prilaku yang makin menyesatkan dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan . Hal demikian itu menjadi sarana kontemplasi baginya hingga menerima wahyu pertama dari Tuhan alam semesta melalui Ruhul Quddus Jibril AS pada tanggal 17 Ramadhan tahun Gajah ke 41, atau tanggal 6 Agustus tahun 610 Masehi.
Namun, peristiwa itu hanyalah awal awal pengangkatannya sebagai seorang Nabi dan Rosul akhir jaman. Selang beberapa bulan lamanya Muhammad SAW sempat gundah-gulana dan nyaris putus asa karena wahyu selanjutnya belum juga datang. Beliau SAW tidak tahu apa yang harus dilakukan selama masa fatrah itu (waktu terputus-turunnya Wahyu) sehingga sempat sangat menggoyahkan keyakinannya.
Bagaimanapun juga, demi tujuan keteladanan yang sempurna bagi ras manusia, sekilas analisis tentang sejarah perjalanan hidup Muhammad SAW kiranya perlu untuk dibahas. Penjelasan yang lebih detail dan lengkap dapat dibaca diberbagai buku yang mengupas betapa mulia dan agung perjuangan Nabi SAW saat hidupnya. Disini kita akan mengupas sebagian kecil sejarah Dia secara ringkasnya saja.
Sebagai teladan utama bagi ras manusia untuk mencapai tingkat keyakinan yang sempurna, Muhammad SAW merupakan sumber analisis yang sempurna ditinjau dari berbagai sisi. Justru karena kesempurnaannya itulah kita dapat mencontohnya dari sisi mana saja, sesuai dengan tingkat kemajuan rasionalitas dan perkembangan akal-nurani ras manusia. Untuk kebutuhan tulisan ini kita akan melihatnya dari sisi ketika Nabi SAW akan melakukan Mi'raj, suatu sisi yang saya kira sangat krusial dalam hubungannya dengan pencapaian kesempurnaan tingkat keyakinan yang pernah dicapai oleh bangsa manusia.
Kita mengetahui bahwa bahwa penderitaan phisik maupun psikis menjadi kian berat dialami Muhammad SAW dan para pengikutnya menjelang terjadinya peristiwa Isra-Mi'raj itu. Sejak tahun ketujuh setelah kenabian, para pemuka bangsawan Quraisy saling bersepakat untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Mutholib (kerabat Nabi SAW) di bidang sosial maupun secara ekonomi. Mereka menulis informasi yang ditanda-tangani para pemimpinnya lalu digantungkan di dinding Ka'bah agar semua orang mematuhinya.
Padahal sebelum diangkat menjadi nabi, semua orang di kota Mekkah telah satu kata dalam menilai dan memperlakukan Muhammad SAW. Bahwa ia berasal dari keturunan yang mulia, bahwa perilaku hidupnya bersih dan suci dengan perangai tanpa cela sedikitpun, dan bahwa kecerdasan, keadilan, dan kejujuran dan kedermawanannya diakui oleh semua suku dan golongan, sehingga mereka semua sepakat menggelarinya dengan sebutan kehormatan Al Amiin (orang yang terpercaya).
Namun setelah diangkat menjadi Rosul Allah pada usia memasuki 41 tahun, semua itu menjadi berlaku sebaliknya. Sindiran dan ejekan, cacian dan makian, fitnahan, bahkan penganiayaan semakin gencar menimpa orang yang paling pengasih dan penyayang terhadap sesamanya ini.
Pada tahun ketujuh setelah kenabian itu, Rosulullah SAW bersama para pengikut dan masyarakat yang seketurunan dengan beliau SAW mengalami penderitaan batin dan kelaparan massal. Anak-anak dan bayi-bayi menangis karena kekurangan makan dan air susu ibunya mengering .... Para sahabat yang kedapatan melanggar aturan oleh Kaum Quraisy disiksa secara keji dan tanpa ampun. Betapa tak terbayangkan duka yang menyelimuti hati Rosul Shalallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya saat itu.
Namun demikian, mereka tetap sabar dan terus menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia yang tertarik dengan kebenaran yang terkandung dalam Al Qur'an, meskipun baru beberapa surat dengan ayat-ayat pendek yang turun. Justru dalam situasi yang penuh derita itu kemajuan mulai berkembang, dan aksi pemboikotan pun tidak terjadi lagi karena Tuhan berkehendak mengakhiri aksi tak berperikemanusiaan itu. Tulisan informasi dari kulit itu hancur lebur dimakan rayap setelah tiga tahun digantungkan didinding Ka'bah. Peristiwa ini terjadi pada tahun kesepuluh setelah kenabian Muhammad SAW.
Sedikit kelegaan itu tidak berlangsung lama, sekitar tahun itu pula paman Nabi SAW yang sangat dihormati dan disayangi, Abu Thalib bin Abdul Mutholib meninggal dunia. Paman Nabi adalah ibarat perisai yang selama ini melindunginya dari kejahatan kafir Quraisy yang sering kali merencanakan pembunuhan terhadap Nabi SAW. Bahkan, Abu Thalib, Sang paman yang begitu dicintainya, yang telah merawat dan membesarkannya sejak Muhammad SAW masih berumur 8 tahun, mengajarinya berbisnis, dan menikahkannya dengan Khadijah RA ketika Muhammad SAW berumur 25 tahun. Abu Thalib itulah sang pengganti kakeknya, ibundanya, dan ayahnya yang telah wafat puluhan tahun sebelumnya.
Sungguh suatu duka dan keharuan yang sangat dalam bagi Muhammad SAW karena Abu Thalib meninggal dalam keadaan tidak mengucap / mengikrarkan Kalimat Syahadat, meskipun .., mengingat pada saat menjelang kematian itu para pemuka Quraisy yang memusuhi Nabi turut serta menghadiri Abu Thalib saat menjelang wafatnya. Sikap pamannya itu sesungguhnya dilandasi oleh kasih-sayang dan perlindungan total terhadap Muhammad SAW meski sampai ajal mendatanginya.
Mungkin .., kaum musyrikin itu mengira bahwa Abu Thalib masih memeluk agama nenek-moyang mereka hingga akhir hayatnya, namun sejarah telah membuktikan bahwa Abu Thalib sebagai satu-satunya pelindung Muhammad SAW sejak masih kecil hingga mengemban Tugas Kenabian. Sungguh duka Nabi SAW tak terperi menyaksikan situasi yang sangat dilematis dihadapi paman yang sangat dicintainya ini justru disaat-saat akhir kehidupannya.
Belum berkurang duka yang dialami Nabi SAW musibah lain telah datang menghampiri. Selang beberapa hari kemudian, istri tercinta yang begitu disayanginya meninggal dunia dalam usia 65 tahun lebih. Khadijah RA telah mendampingi suami yang sangat dihormati dan dicintainya selama 25 tahun, selama itu pula ia baktikan segala sesuatu yang ia miliki untuk tujuan da'wah Illahiyah yang telah ditugaskan kepada Nabi SAW. Khadijah RA bukanlah sekedar pedagang besar yang terkaya di kota Mekkah, ia juga seorang yang mulia, terhormat di kalangan masyarakat kota, dan dermawan yang peduli untuk warga dan karyawannya.
Khadijah RA telah mengetahui makna mimpi yang pernah dialaminya dari Waraqoh bin Naufal (paman Khadijah) bahwa ia akan menjadi istri dari seorang Nabi akhir jaman yang bernama Muhammad. Oleh karenanya, setelah menikah dengan Muhammad SAW, Khadijah bertekad untuk mengabdikan seluruh hidup dan segala yang dimilikinya semata hanyalah untuk Tugas Kenabian dan Kerosulan yang begitu berat akan dipikul oleh suaminya.
Bagi Nabi Muhammad SAW sendiri, Khadijah RA laksana mata air penyejuk hati, ibarat obat pembasuh luka ... Sungguh suatu kehilangan yang sangat mengharukan dengan meninggalnya Khadijah RA, justru disaaat makin maraknya tekanan yang dilakukan kaum musyrikin Mekkah terhadap Beliau SAW beserta Para Sahabatnya.
N amun, semua penderitaan itu hanyalah ujian yang memang sudah lazim ditempuh dan dialami oleh Para Nabi dan Rosul pada waktu -masa sebelumnya. Sebagaimana yang telah Nabi SAW ketahui dari Waraqoh bin Naufal saat pertama kalinya menerima Wahyu Illahi, bahwasanya tidak ada seorang nabi pun yang tidak dimusuhi dan diusir dari negerinya, termasuk Muhammad SAW.
Dengan hati tabah dan tetap bersungguh-sungguh Nabi SAW terus melanjutkan da'wahnya , Beliau kunjungi setiap kabilah Bani Quraisy untuk menyampaikan Kalimat-Kalimat Tauhid sekaligus menerangkan ayat-ayat yang diturunkan kepada Beliau untuk umat manusia. Para Sahabat yang sebagian tak sabar .., lalu secara terang-terangan mengemukakan ajaran Nabi SAW dimuka umum, masing-masing dari mereka niscaya mengalami berbagai penganiayaan berupa pengeroyokan dan penyiksaan secara keji dengan menggunakan alat-alat yang membuat bulu kuduk mendadak berdiri.
Aksi- tindakan biadab yang sering digelar dimuka umum oleh kaum musyrikin Quraisy itu sungguh meresahkan kaum muslimin dan membuat Nabi SAW semakin prihatin. Beliau SAW lalu menyelenggarakan sebagian para sahabatnya untuk pergi berhijrah, pindah tempat tinggal ke negeri Habasyah, suatu negara di Afrika Utara yang memiliki toleransi dalam hidup beragama.
Pada tahun kesebelas sejak kenabian, Muhammad SAW bersama Zaid bin Haritsah (seorang budak kecil yang telah ditetapkannya sebagai anak angkat) pergi ke Tha'if untuk mencari suaka atau dukungan. Nabi SAW sangat berharap agar para pemuka Bani Tsaqif yang merupakan koloni terbesar di kota itu mau menerima ajaran Nabi dan memberikan perlindungan kepada kaum muslimin. Tapi ternyata mereka langsung menolaknya ... Sebagai seorang Rasul yang berpendirian teguh dan selalu bersungguh-sungguh dalam mengemban tugas, Beliau SAW mendatangi masyarakat umum dan bahkan sampai kepada kebanyakan rakyat biasa di pinggir jalan. Namun demikian, tidak satu orang pun dari mereka yang tertarik dan mau mendengarkan Kalimat Tuhan semesta alam yang harus disampaikannya.
Bukan cuma sindiran atau caci-maki yang Nabi SAW dapatkan sebagai respons atau jawaban. Bahkan ..., Nabi akhir jaman telah menerima penganiayaan keji, berupa pengusiran dan timpukan bebatuan dari penduduk kota yang keji itu.
Sungguh .., betapa dalam duka dan pilu yang Nabi SAW rasakan saat itu. Bukan tentang genangan darah yang melekat antara kedua telapak kaki dan terompahnya yang Beliau SAW risaukan sebagai akibat dari hebatnya luka-luka timpukan batu, bukan pula karena kecewa akibat mengalami perlakuan buruk dari penduduk Tha'if yang belum mengerti cahaya kebenaran yang disampaikan Kekasih Tuhan Semesta itu.
Justru yang ia khawatirkan adalah posisi eksistensi keyakinannya terhadap Tuhan Seluruh Jagat Raya (Rabb Al'Aalamiin) ini, apakah beliau SAW akan dapat melanjutkan Tugas Kerosulannya mengingat betapa terasa semakin berat berbagai tes yang terus-menerus dialaminya. Atau .., akan kemana lagikah langkah kakinya harus menuju ....?
Marilah kita coba renungkan pengaduan Nabi Muhammad SAW sesaat setelah ia selamat dari timpukan batu dari para penduduk kota Tha'if yang keji itu. Pengaduan Nabi SAW kepada Tuhannya lebih-kurang sebagai berikut:
"Yaa Allaah, kepada Engkau aku adukan kelemahan tenagaku, dan kurangnya upayaku pada pandangan banyak orang .., Wahai Tuhan yang Maha Rahiim, Engkaulah Tuhannya orang-orang yang lemah, Engkaulah Tuhanku .. kepada siapa Engkau akan menyerahkan aku ..?. Kepada musuh yang siap menerkamku, atau kepada keluarga yang Engkau kuasakan untuk menindasku ..?. Aku tidak memperdulikannya jika Engkau tidak marah kepadaku ....
Namun, afiat-Mu lebih luas bagiku .. , Lindungilah aku dengan Cahaya Wajah-Mu yang menyinari semua langit dan bumi .., yang menerangi segala kegelapan, dan pada Engkaulah teratur segala urusan dunia dan akhirat .., dari terkenanya aku oleh marah-Mu, atau tertimpanya aku oleh azab-Mu. . Kepada Engkaulah pengaduanku ini hingga Engkau menjadi ridho .., tiada daya dan kekuatanku melainkan dengan Engkau ... "
Kita bisa merasakan betapa sedih dan pilu pengaduan Nabi SAW kepada Tuhannya, barangkali saat itu beliau SAW juga teringat dengan berbagai penderitaan yang pernah dialami diwaktu -waktu sebelumnya, semenjak penugasannya sebagai nabi akhir jaman. Telah habis segala daya yang dimilikinya, dan tak ada apapun lagi yang tersisa kecuali harapan pertolongan dari Tuhan Maha Perkasa lagi Maha Menyayangi (AL'AZIIZ Arrohiim). Kita juga dapat mengetahui bahwa doa yang beliau SAW panjatkan terasa begitu sopan, tulus, tahu diri rendah hati, penuh harap dan prasangka baik, bahkan disertai dengan pujian kesucian kepada Tuhannya.
Padahal, kondisi phisik dan psikis yang penuh tekanan dan derita, cenderung membuat seseorang dipenuhi dengan emosi yang meluap atau amarah, mudah mengumpati dan melontarkan kata-kata kotor atau keji, atau bahkan penuh menyimpan dendam dalam hati. Entah rahasia apa saja yang terkandung dalam diri seorang nabi yang mulia, namun begitu ..., keunggulan pribadinya menunjukkan kepada kita bahwa Nabi SAW merupakan sosok manusia yang secara nyata memiliki keyakinan yang sempurna terhadap janji pertolongan dari Tuhannya.
Tak berapa lama kemudian dalam perjalanan hendak pulang kembali ke Mekkah, para malaikat turun menampakkan diri dihadapan Muhammad SAW. Malaikat Jibril menghampiri nabi SAW dan berkata, "Yaa Rosul Allah .., sungguh Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu .., Dia telah memerintahkan aku dan malaikat gunung agar menuruti kehendakmu berkenaan dengan kaummu ..". Malaikat Gunung pun datang dan menghampiri Nabi SAW lalu berkata .., "Yaa Rosulullah .., jika engkau ingin agar kami mengangkat gunung-gunung di sekitar kota itu dan membenturkannya sehingga semua penduduknya binasa / mati terkubur, tentu kami akan segera melakukannya .." .
Nabi Muhammad SAW pun berkata, "Oooh, tidaak ....!, Justru aku berharap semoga Allah menjadikan keturunan mereka, suatu saat nanti akan menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan Dia dengan apapun juga ..". Kemudian Nabi SAW pun berdoa didekat para malaikat itu, "Yaa Allaah .., berilah petunjuk bagi kaumku ini, karena mereka belum mengerti ..". Para malaikat pun sama berkata, "Benarlah Allah karena telah menggelari engkau sebagai Pengasih lagi Penyayang ..". Lalu para malaikat itupun menghilang, dan Nabi SAW melanjutkan perjalanannya kembali ke Mekkah.
...o0o...